Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Masalah Tafsir Hukum atas UU Tipikor Tahun 1999



loading…

Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa

Romli Atmasasmita

Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( Tipikor ) Tahun 1999 telah berlaku kurang lebih 25 (dua puluh lima) tahun yang lampau sampai saat ini. Dari pengalaman praktik penegakannya sering menimbulkan penafsiran hukum berbeda dari para ahli, praktisi hukum, dan akademisi hukum.

Perbedaan tafsir hukum tersebut sejatinya dipicu oleh kurangnya pemahaman mengenai aspek historis, tujuan pembentukannya (teleologis), normative-sistematis dan abstraksi logis, serta tafsir hukum lainnya yang berkaitan erat dengan perkara korupsi yaitu berasal dari sumber hukum umum hukum pidana yaitu, undang-undang, doktrin hukum pidana, dan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (yurisprudensi).

Kelaziman praktik aparat penegak hukum (APH) menggunakan kedua UU Tipikor tersebut merupakan wujud nyata aliran/paham legalistik yang bertumpu pada asas tiada pidana tanpa kesalahan. Konsekuensi logis pemahaman aliran legalistik menimbulkan tafsir hukum khususnya atas ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor 1999 sebagai berikut: sekalipun modus operandi suatu pelanggaran itu masuk wilayah peraturan perundangan lain, akan tetapi bila unsur-unsur pasal tindak pidana korupsi telah terpenuhi, maka UU Tipikor dapat diterapkan.

Pendapat ini berbeda dengan pendapat bahwa, ketentuan Pasal 144 UU Tipikor 1999 harus ditafsirkan sesuai dengan maksud dan tujuan pembentuk UU yaitu membatasi perluasan penerapan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor 1999 terhadap setiap pelanggaran UU yang telah menimbulkan kerugian keuangan negara.

Pendapat pertama dilandaskan pada asas legalitas, sedangkan pendapat kedua dilandaskan pada tafsir teleologis. Adanya perbedaan tafsir hukum tersebut mencerminkan belum terdapat kepastian hukum tentang penerapan UU Tipikor 1999/2001 terhadap pelanggaran UU yang menimbukan kerugian keuangan negara.

Masalah tafsir hukum yang kedua adalah mengenai unsur perbuatan yang bersifat melawan hukum (PMH) yang terdapat pada Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor `1999. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor mengemukakan sebaga berikut: Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Dalam ketentuan ini, kata “dapat” (menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara) sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Selanjutnya dinyatakan bahwa, benar tindak pidana korupsi adalah tindak pidana formil.

Masalah tafsir ketiga dari UU Tipikor 1999/2001 adalah mengenai unsur kerugian keuangan negara. Unsur kerugian keuangan negara telah berhasil dirumuskan pengertiannya secara hukum, yaitu terdapat pada ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yaitu Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *