loading…
Dengan menggabungkan sumber daya dan keahlian, Honda-Nissan berharap dapat memperkuat posisi mereka dalam persaingan EV global. Foto: AP
Ancaman dari Negeri Tirai Bambu
Bukan berlebihan jika industri otomotif global kini dihantui oleh bayang-bayang produsen EV (mobil listrik) China. Dengan inovasi agresif, harga kompetitif, dan dukungan pemerintah yang kuat, merek-merek seperti BYD telah berhasil mencuri pangsa pasar di berbagai belahan dunia, termasuk di kandang sendiri, Jepang.
Honda dan Nissan, dua pemain besar di industri otomotif Jepang, pun tak luput dari ancaman ini. Keduanya mengalami penurunan penjualan dan keuntungan di pasar China yang semakin didominasi oleh pemain lokal.
Merger: Solusi atau Frustasi?
Di tengah badai yang menerpa, merger tampaknya menjadi sebuah pelampung bagi Honda dan Nissan. Dengan menggabungkan sumber daya dan keahlian, mereka berharap dapat memperkuat posisi mereka dalam persaingan EV global.
Namun, merger juga bukan tanpa risiko. Tantangan integrasi budaya, struktur organisasi, dan strategi bisnis dapat menjadi batu sandungan yang mengancam kelangsungan “pernikahan” ini.
Presiden Honda, Toshihiro Mibe, mengatakan Honda dan Nissan akan mencoba menyatukan operasi mereka di bawah perusahaan induk bersama. Tapi, dia juga tidak mengelak bahwa kemungkinan merger ini gagal juga ada.
Pergeseran Teknologi: PR Besar bagi Jepang
Selain ancaman dari China, industri otomotif Jepang juga dihadapkan pada tantangan pergeseran digital. Fokus konsumen kini beralih pada fitur-fitur self-driving, perangkat lunak, dan pengalaman digital di dalam kendaraan – area di mana produsen China saat ini unggul.
Data dan Analisis
– Penurunan laba kuartalan Honda: 15%
– Rencana PHK Nissan: 9.000 pekerjaan
– Pangsa pasar EV Tiongkok di pasar global: > 50%
– Jumlah perusahaan dalam rantai pasokan otomotif Jepang: 60.000
– Nilai transaksi bisnis otomotif Jepang: Rp4.050 triliun
“Kita tidak lagi berada di zaman di mana para pembuat mobil akan bergabung bersama, menghasilkan keuntungan melalui skala ekonomi dan kemudian menginvestasikannya kembali dalam rencana restrukturisasi lima tahun,” kata Sanshiro Fukao, eksekutif rekanan di Itochu Research Institute.
“Bagi Jepang, pada akhirnya ini semua tentang mobil. Jika industri otomotif tidak membaik, maka seluruh manufaktur Jepang tidak akan menjadi lebih baik,” kata Takumi Tsunoda, ekonom senior di Shinkin Central Bank Research Institute.
Merger antara Honda dan Nissan merupakan langkah strategis yang diambil untuk menghadapi tantangan berat di industri otomotif global. Namun, keberhasilan “pernikahan” ini akan bergantung pada kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan pergeseran digital, berinovasi di bidang EV, dan mempertahankan keunggulan manufaktur mereka.
Akankah “kawin paksa” ini berhasil menyelamatkan mereka dari tsunami EV Tiongkok? Hanya waktu yang akanmenjawab.
(dan)