Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Waspada Upaya Segregasi Masyarakat lewat Narasi Perang Akhir Zaman



loading…

Guru Besar Sejarah Peradaban Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Prof KH Didin Nurul Rosidin. FOTO/IST

JAKARTA – Guru Besar Sejarah Peradaban Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Prof KH Didin Nurul Rosidin memperingatkan masyarakat Indonesia agar mewaspadai narasi perang akhir zaman yang dikaitkan dengan konflik India-Pakistan. Menurutnya, narasi semacam ini tidak hanya keliru secara historis, tetapi juga berpotensi menimbulkan segregasi sosial dan radikalisasi masyarakat.

Prof. Didin menilai bahwa konflik antara India dan Pakistan merupakan akumulasi persoalan sejarah yang kompleks, mencakup dimensi politik, sosial, budaya, dan ekonomi, bukan perang agama sebagaimana digambarkan dalam framing apokaliptik oleh sebagian pihak. Ia menyebut framing umat Islam (Pakistan) vs orang kafir (India) sebagai narasi yang berbahaya karena mempolarisasi masyarakat dan memicu kekerasan.

“Narasi semacam ini cenderung menimbulkan polarisasi tajam, memicu radikalisasi, dan menggerus upaya perdamaian serta diplomasi yang sejatinya sangat diperlukan untuk menghindari eskalasi militer, bahkan nuklir, di kawasan Asia Selatan,” kata Prof. Didin.

Ia mengingatkan bahwa retorika “perang akhir zaman” sering kali dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis untuk membenarkan tindakan kekerasan dan merekrut anggota baru. Framing seperti ini juga dapat mendorong tindakan individu secara spontan (lone wolf) yang merasa terpanggil untuk berjihad atas nama agama menjelang kiamat.

Dalam konteks Indonesia, Prof. Didin menilai bahwa pengaitan konflik India–Pakistan dengan situasi dalam negeri sangat tidak relevan. Ia menegaskan bahwa sejarah Indonesia dibangun di atas semangat persatuan dalam keberagaman, bukan atas dasar homogenitas agama.

“Indonesia itu dibangun dan akan selalu dibangun oleh keanekaragaman, tidak hanya budaya tetapi juga keimanan. Kalau kita bicara dari Sabang sampai Merauke, itu adalah bicara tentang Bhinneka Tunggal Ika,” terangnya.

Prof. Didin juga mengkritik upaya membandingkan situasi Indonesia dengan konflik India–Pakistan. Menurutnya, sejarah masing-masing negara bersifat unik dan tidak bisa disamaratakan. Ia mencontohkan bagaimana kolaborasi lintas iman menjadi kekuatan bangsa Indonesia, mulai dari Sumpah Pemuda hingga perjuangan kemerdekaan dan revolusi fisik.

“Perjuangan bangsa ini bukan hanya milik satu kelompok. Kita mengenal Johannes Leimena yang bukan Muslim tetapi punya komitmen kuat untuk Indonesia merdeka. Sementara ada juga tokoh Muslim seperti Sultan Hamid II yang justru pro-Belanda,” ungkapnya.

Ia menambahkan, pemahaman agama semestinya didasarkan pada akal sehat dan cinta kasih kepada sesama manusia, sebagaimana diajarkan dalam berbagai tradisi keislaman. Ia mengutip pandangan Ibn Arabi yang menyebut bahwa tingkatan tertinggi pemahaman agama adalah *mahabbah* (cinta).

“Kalau cinta berdasarkan agama, seharusnya juga cinta terhadap sesama manusia. Kalau agama dihadirkan untuk merusak manusia, justru itu melenceng dari misi agama yang sesungguhnya,” kata Prof. Didin.

Ia mengajak masyarakat Indonesia untuk menghindari penyalahgunaan teks-teks agama sebagai pembenaran kekerasan dan permusuhan. Ia memperingatkan agar tidak menjadikan posisi Tuhan sebagai justifikasi untuk bersikap semaunya.

“Kalau ajaran agama dimaknai dengan hitam-putih, bahwa A itu musuh saya dan B kawan saya, sesungguhnya kita sedang mengambil posisi Tuhan. Ini sangat berbahaya karena menunjukkan keegoisan manusia yang merasa benar sendiri,” katanya.

(abd)



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *