Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Transformasi Pengelolaan Perti di Era Transisi



loading…

Surokim As, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerja Sama, Dosen Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Foto/Istimewa

Surokim As
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerja Sama,
Dosen Universitas Trunojoyo Madura (UTM)

PERGURUAN tinggi (perti) akan menghadapi situasi yang tidak mudah pada masa kini dan mendatang seiring datangnya era Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity (VUCA). Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kondisi yang penuh dengan ketidakpastian, kerumitan, dan perubahan yang cepat.

Kompleksitas masalah akan datang silih berganti menjadi tantangan nyata bagi para manajemen dan pengelola perti. Kompleksitas itu tentu saja bisa melahirkan berbagai spekulasi, ancaman sekaligus peluang dan harapan baru. Perti dituntut mengembangkan sikap awareness, allertness, readiness, dan mengambil berbagai aksi best practices & future practices.

Dalam situasi tersebut, Prof Arif Satria (2024) mengutip James Anderson menyebutkan bahwa faktor penentu keberhasilan orang dan lembaga di abad-21 adalah mereka yang lebih responsif, bisa cepat beradaptasi dalam menghadapi berbagai disrupsi. Untuk itu, perlu langkah trajektori pengelolaan lembaga pendidikan tinggi ke depan lebih progresif, akseleratif, dan berdimensi masa depan (visioner).

Strategi dan langkah ini sungguh tindak mudah, mengingat kompleksitas masalah yang dihadapi sehingga diperlukan langkah antisipasi dan kemampuan membaca masa depan (future practices) lebih presisi. Adaptif dan responsif memang mudah dikatakan, tetapi sesungguhnya tidak mudah (sulit) dilakukan.

Fleksibilitas dan agile menjadi salah stau tolok ukur daya respons dan adaptif civitas academica. Pengelola perti harus bisa memainkan orkestasi dalam perubahan itu untuk memeroleh daya saling. Mereka harus konsisten dan fokus kepada upaya memberi nilai tambah yakni menguatkan inovasi dan kreasi secara berkelanjutan.

Tantangan Perubahan

Pengelola perti akan menghadapi situasi kompleks tidak saja di level lokal, regional, tetapi juga global. Tantangan makro global seperti perubahan iklim dan cuaca, revolusi industri 4.0, pandemi dunia, dan perang serta konflik internasional adalah beberapa disrupsi yang potensial bisa dan akan menghantui dunia global kini dan mendatang. Hal ini tentu saja akan membawa dampak krisis pada sektor strategis diantaranya lingkungan, energi, makanan, dan industri.

Semua itu membutuhkan strategi transformasi, resiliensi, dan sustainability yang presisi dan responsi yang baik dari pengelola perti. Berdasarkan pengalaman, selama ini kita masih terlihat gagap dalam menghadapi perubahan lingkungan, khususnya kemampuan adaptasi kita terhadap perubahan teknologi.

Daya tanggap kita relatif lamban dan selalu ketinggalan jika dibandingkan dengan responsi bidang lain, sehingga selalu ada gab yang tinggi antara perkembangan teknologi dengan bidang lainnya (individu, bisnis, dan kebijakan). Kebijakan perti tidak mampu menjadi antisipator, social engineering, tetapi lebih banyak menjadi kuratif dan pemadam kebakaran atas masalah yang muncul silih berganti.

Selain itu, perkembangan otomatisasi juga meningkat pesat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir dari 33% pada 2020 menjadi 47% di 2025. Sementara tenaga manusia menurun dari 67% pada 2020 menjadi 53% pada 2025. Future of Job Report 2025 memprediksi bahwa keterampilan pekerjaan yang dibutuhkan hingga 2030 dengan memertimbangkan perubahan teknologi, fragmentasi geoekonomi, ketidakpastian ekonomi, pergeseran demografi, dan transisi hijau yang secara individu dan gabungan akan merombak struktur dan lanskap industri dan pasar tenaga kerja global lima tahun ke depan.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *