loading…
Pengamat maritim dari Ikatan Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC) Dr Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa. Foto: Ist
Insiden paling menonjol tercatat terjadi pada 21 Oktober 2024 ketika kapal China Coast Guard 5402 diusir oleh Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI di Laut Natuna Utara karena mengganggu aktivitas survei dan pengolahan data seismik 3D yang dilakukan PT Pertamina dengan menggunakan kapal MV Geo Coral dan hal tersebut menjadi sorotan internasional.
Menurut Dr Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa, pengamat maritim dari Ikatan Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC), insiden ini bukan hanya mempertegas posisi strategis Indonesia, tetapi juga menunjukkan komitmen negara dalam menjaga kedaulatan wilayah.
“Kejadian ini bukti nyata bahwa Indonesia tidak akan mundur menghadapi klaim sepihak yang bertentangan dengan hukum internasional. Dalam catatan saya, Laut Natuna Utara memiliki luas 83.000 km2. Ketegasan Indonesia dalam menolak klaim China di Laut Natuna Utara memperlihatkan pentingnya diplomasi dan kekuatan pertahanan maritim kita,” ujar Capt Hakeng.
Diplomasi Indonesia melalui ASEAN dan PBB menjadi langkah strategis yang menegaskan komitmen terhadap UNCLOS 1982 terutama sebagaimana tertuang dalam pasal 56 UNCLOS 1982 tentang hak berdaulat dan yurisdiksi negara pantai di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Melalui pendekatan ini, Indonesia tidak hanya menjaga kedaulatan wilayahnya tetapi juga menunjukkan kepemimpinan di kawasan Asia Tenggara.
Dinamika Keamanan Maritim 2024: Dari Natuna ke Laut Merah
Refleksi tahun 2024 tidak berhenti pada Laut Natuna Utara. Capt Hakeng menyoroti juga konflik yang sedang terjadi di Laut Merah dan Teluk Aden yang melibatkan kelompok Houthi, menambah tekanan pada jalur pelayaran internasional.
Jalur strategis ini yang merupakan penghubung utama bagi perdagangan global, menghadapi ancaman serius berupa lonjakan tarif pengiriman, keterlambatan logistik, dan risiko terhadap suplai energi.
“Konflik ini berdampak langsung pada ekonomi global, termasuk Indonesia, sebagai negara yang sangat bergantung perekonomiannya pada stabilitas jalur pelayaran strategis seperti Selat Malaka,” jelasnya.
Selat Malaka merupakan salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia, di mana sehari bisa dilewati lebih dari 200 kapal. Volume perdagangan yang melewati jalur ini bisa mencapai lebih dari USD400 miliar dalam setahun.
Sebagai respons, Indonesia memperkuat koordinasi regional untuk menjamin keamanan pelayaran di jalur vital tersebut. Patroli maritim yang lebih intensif, kerja sama dengan negara-negara tetangga, dan modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) menjadi prioritas utama pemerintah.
Pasir Laut: Peluang Besar di Tengah Ancaman Lingkungan
Di sisi lain, pengelolaan sumber daya laut, khususnya pasir laut, menjadi salah satu isu maritim strategis di tahun 2024. Dengan potensi pasir yang bisa disedot mencapai 17 miliar meter kubik, maka sepatutnya pasir laut yang dihasilkan dari kegiatan ini digunakan untuk mendukung proyek infrastruktur yang dilaksanakan di Indonesia dibandingkan untuk diekspor ke negara lain.