Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Syawal Momen Penguatan Silaturahim dan Perayaan Kearifan Lokal untuk Kebersamaan



loading…

Ketua Dewan Syuro Ikatan Dai Indonesia (Ikadi), KH Achmad Satori Ismail. FOTO/IST

JAKARTA – Berbagai tradisi dan kearifan lokal selalu mewarnai bulan Syawal usai Hari Raya Idulfitri 1446 Hijriah di Indonesia. Momentum pasca Idulfitri, dirayakan melalui Umat Muslim di Indonesia dengan berbagai lanskap kebudayaan di berbagai pelosok negeri. Misalnya ada momentum Grebek Syawal di Yogyakarta, Perang Topa di Lombok, Lebaran ketupat, dan lain-lain.

Ketua Dewan Syuro Ikatan Dai Indonesia (Ikadi), KH Achmad Satori Ismail mengungkapkan maraknya berbagai tradisi itu menjadi bukti keberagaman masyarakat Indonesia dalam merayakan perayaan Idulfitri.

“Inilah bentuk keberagaman identitas bangsa Indonesia yang patut dijaga dan disyukuri. Selama hal tersebut dapat bermanfaat, tidak mengandung unsur kesyirikan takhayul, maka secara agama itu diperbolehkan,” kata Kiai Satori di Jakarta, Jumat (11/4/2025).

“Syawal di mana ada orang bagi-bagi makanan dan segala macam dengan tujuan, selama tidak mengandung kesyirikan, maka insyaAllah itu dibolehkan,” imbuhnya.

Satori mengungkapkan, adanya tradisi mendoakan orang yang sudah meninggal, berziarah, mengundang orang lain untuk silaturahim, berdoa bersama, adalah bentuk keindahan yang harus dijaga, dan dihormati bukan malah untuk dihujat atau dihakimi.

“Selama tujuannya bukan untuk mengagungkan si mayit atau untuk menyembah yang lain, tetapi sebagai sarana kebersamaan untuk makan bersama, bisa membawa berkat ke rumah, itu adalah sesuatu yang sebenarnya indah,” kata Satori.

Oleh karena itu, penulis buku Merajut Tali Temali Ukhuwwah ini menyerukan momentum bulan Syawal ini dapat diinternalisasi untuk menyempurnakan ibadah-ibadah yang sudah dilakukan secara konsisten di Bulan Ramadan, dengan silaturahim dan saling memaafkan. Seorang muslim, Satori menambahkan, sejatinya memiliki keikhlasan untuk saling memaafkan, maupun kelapangan dada dalam memahami perbedaan. Inilah esensi bulan Syawal dalam menyempurnakan ibadah, yakni untuk menggapai keberuntungan dunia akhirat melalui upaya saling memaafkan.

Lelaki kelahiran Cirebon, 6 Desember 1955 ini berpendapat, Syawal adalah momen yang tepat untuk saling introspkesi, saling membersihkan hati dari segala benci, perselisihan, maupun perbedaan, baik perselisihan politik, mahzab maupun perbedaan agama.

Menurutnya, hal ini adalah bentuk aktualisasi bulan Ramadan, dengan saling menghormati dam menjaga kepedulian terhadap sesama. Membangun empati tanpa harus melihat identitas suku, ras atau agama.

“Sehingga kita kembali kepada fitrah, bersih, dalam artian jiwa dan jasmani kita bersih,” ucap Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.’

“Karena Islam itu rahmat bagi seluruh alam, menjadi kasih sayang dan penebar kasih sayang untuk seluruh alam. Bukan hanya kepada Muslim saja,” katanya.

(abd)



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *