Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Strategi Pemberantasan Korupsi



loading…

Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa

Romli Atmasasmita

PEMBERANTASAN korupsi di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1960 dengan dikeluarkannya Perppu Nomor 24 Tahun 1960, kemudian dicabut dengan UU Nomor 3 Tahun 1971, diubah lagi dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001. Strategi pemberantasan korupsi era 1960-an sampai dengan era 1999-an dan 2001 mengutamakan pada penindakan/penjeraan dengan pengembalian kerugian negara, tidak pada strategi pencegahan.

Strategi penindakan tersebut masih mendahulukan proses penuntutan pidana daripada gugatan perdata. Jika ada ketentuan di dalam UU aquo, ketentuan itu pun hanya merupakan “escape-clause” jika proses penuntutan pidana mengalamin hambatan atau tidak dapat dilanjutkan sekalipun bukti kerugian negara telah ditemukan.

Escape clause dimaksud terdapat pada Pasal 32 ayat (1) UU aquo yang menyatakan: Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Namun demikian, adanya ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 bukan mencerminkan strategi pemberantasan korupsi per se melainkan hanya merupakan celah hukum alternatif dari strategi penghukuman semata-mata.

Yang dimaksud dengan strategi pemberantaan korupsi dalam arti luas adalah meliputi strategi pencegahan, strategi penghukuman, dan strategi pemulihan aset korupsi. Situasi kondisi sosial masyarakat Indonesia kini dalam menghadapi korupsi berada pada puncak penghukuman dan sama sekali tidak pada pencegahan, begitu pula obsesi masyarakat luas. Kalaupun ada perampasan aset dalam proses penuntutan hanya merupakan upaya hukum melengkapi penghukuman.

Ratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi (UN Convention Against Corruption, 2003) dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 seharusnya telah mengubah UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi, Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999-diubah UU Nomor 20 Tahun 2001- harus memuat strategi baru dengan visi dan misi yang berbeda secara mendasar dengan strategi yang telah dianut dan dijalankan merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2001.

Perbedaan mendasar dimaksud adalah bahwa visi terbaru selain mengurangi angka kemiskinan melalui pertumbuhan ekonomi lebih dari 5% dan tingkat inflasi yang reatif rendah serta daya beli masyarakat yang lebih baik, juga misi pembaruan strategi pemberantasan korupsi 80% lebih mengutamakan pemulihan aset korupsi (asset recovery) kepada negara baik dalam konteks nasional maupun melalui kerja sama internasional.

Di samping perubahan visi dan misi tersebut, strategi baru pemberantasan korupsi menyasar kepada peningkatan disiplin dan sikap aparatur penyelenggara negara dan mencegah merebaknya kolusi dan nepotisme di samping korupsi. Visi dan misi tersebut dilaksanakan melalui kriminalisasi perbuatan penyelenggaraan negara yang secara melawan hukum telah menguntungkan diri sendiri (illicit enrichment), dan perbuatan memperdagangkan pengaruh dengan tujuan memperoleh keuntungan finansial dan menguntungkan orang lain atau korporasi; metoda pembuktian terbalik (reversal of burden of proof).

Visi dan misi strategi pemberantasan korupsi tersebut diharapkan berhasil dilaksanakan dengan dimulai oleh kewajiban yang bersifat mandatory terhadap setiap aparatur penyelenggara negara untuk melaporkan penghasilannya ( LHKPN ) setiap tahun kepada Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ).



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *