Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Senjakala Pemberantasan Korupsi jika Kejaksaan Dilarang Usut Korupsi



loading…

Kejaksaan Agung. Foto SINDOnews

JAKARTA – Pengamat Politik Dedi Kurnia Syah Putra merespons beredarnya draf Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( RUU KUHAP ) yang dinilai menghapus kewenangan Kejaksaan menyelidiki korupsi. Menurut Dedi, jika kewenangan Kejaksaan untuk menyelidiki perkara korupsi dihapuskan, maka akan menjadi senjakala pemberantasan korupsi.

Selain itu, bisa merusak reputasi pemerintahan. “Jika UU KUHAP itu disahkan dengan menihilkan kewenangan Kejaksaan, ini senjakala pemberantasan korupsi, dan tentu bisa pengaruhi reputasi pemerintah,” kata Dedi, Jumat (4/4/2025).

Dia mengingatkan, efek negatif yang muncul bisa membuat pemerintah dianggap membuka celah bagi koruptor untuk bebas beraksi. Dengan kondisi tersebut, berisiko dianggap mengkhianati upaya negara memberantas korupsi.

Dedi berpendapat, penghapusan kewenangan kejaksaan menghapus korupsi merupakan serangan balik koruptor yang sangat nyata, di tengah kerja kejaksaan selama ini. Meskipun Kejaksaan sendiri tidak sepenuhnya bebas korupsi, tetapi upaya pemberantasan korupsi yang mereka lakukan layak diapresiasi dan didukung.

“Jangan sampai Kejaksaan diserupakan dengan alat penegakan hukum biasa, Kejaksaan Agung merupakan satu dari tiga serangkai kekuasaan politik negara, melengkapi eksekutif, dan legislatif, sudah sepatutnya kejaksaan mendapat porsi kekuasaan hukum lebih besar dari polisi apalagi KPK,” tuturnya.

Lebih lanjut Dedi mengatakan, secara umum semua penegakan hukum seharusnya punya hak menegakkan hukum, termasuk korupsi, baik di Kejaksaan Agung maupun polisi. Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya lembaga tambahan yang bersifat komisioner, ia tidak punya kewenangan penegakan, tetap pada akhirnya yang direstui UU adalah Kepolisian dan Kejaksaan.

“Jika Kejaksaan dibatasi dalam perkara korupsi, maka ini sama saja dengan memberikan akses penegakan korupsi hanya di kepolisian, sementara saat ini reputasi kepolisian sudah demikian buruk, baik dari perspektif publik maupun catatan penegakan hukum,” pungkasnya.

(rca)



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *