Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

RUU Perampasan Aset Harus Segera Disahkan



loading…

Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho mengatakan, RUU Perampasan Aset harus segera disahkan untuk menangani kasus korupsi. Foto/istimewa

JAKARTA – Kasus korupsi yang terus terjadi di Indonesia semakin memperlihatkan lemahnya sistem penegakan hukum dalam menangani praktik rasuah. Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dinilai solusi dalam menangani kasus korupsi.

Seperti diketahui, publik dibuat geram dengan skandal korupsi bernilai triliunan rupiah seperti kasus dugaan megakorupsi PT Pertamina yang diperkirakan merugikan negara pada 2023 sebesar Rp193, 7 triliun. Jika pola korupsi berlangsung selama 2018-2023, potensi kerugian negara bisa mencapai Rp 968,5 triliun, hampir 1 kuadriliun.

Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menilai, kasus ini menambah deretan skandal besar lainnya, mulai dari BLBI, Jiwasraya, ASABRI, hingga PT Timah. Di tengah krisis kepercayaan terhadap pemberantasan korupsi, ada satu instrumen hukum yang dinilai dapat menjadi solusi ampuh yakni RUU Perampasan Aset. Sayangnya, hingga kini pembahasannya masih terkatung-katung di DPR.

“Lambannya pengesahan RUU Perampasan Aset menunjukkan ketidaktegasan negara dalam memerangi korupsi secara serius. Saya kira, pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi UU harga mati.Tidak boleh ditunda lagi,” ujarnya di Jakarta, Kamis (6/3/2025).

Menurut Hardjuno, perampasan aset adalah salah satu cara paling efektif untuk memberikan efek jera kepada para koruptor. “Kalau hanya mengandalkan hukuman penjara, tidak akan cukup. Kita sudah lihat banyak kasus, koruptor yang divonis bersalah tetap bisa hidup nyaman setelah keluar dari tahanan karena aset mereka tidak tersentuh. Oleh sebab itu, perampasan aset harus menjadi senjata utama dalam pemberantasan korupsi,” ujar Hardjuno.

Kandidat Doktor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini menjelaskan strategi pemberantasan korupsi harus berjalan dalam tiga aspek utama, yakni pencegahan, penindakan, dan pemulihan aset. Selama ini, aspek pemulihan aset sering kali terabaikan karena mekanisme hukum yang berbelit.

“Proses pemulihan aset hasil korupsi masih bergantung pada mekanisme konvensional yang berbasis putusan pidana. Artinya, penegak hukum baru bisa menyita aset setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah). Masalahnya, proses ini bisa memakan waktu bertahun-tahun, memberi celah bagi koruptor untuk menghilangkan atau menyamarkan aset mereka,” jelasnya.

Hardjuno menyebut RUU Perampasan Aset membawa terobosan penting dengan memperkenalkan mekanisme non-conviction based asset forfeiture, yang memungkinkan penyitaan aset tanpa perlu menunggu putusan pidana. Cara ini telah diterapkan di berbagai negara seperti Amerika Serikat dengan Civil Asset Forfeiture dan Inggris melalui Proceeds of Crime Act.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *