Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Refleksi 50 Tahun Wafatnya Chiang Kai-shek



loading…

Harryanto Aryodiguno, Ph.D, Dosen Hubungan Internasional President University. Foto/Dok.SindoNews

Harryanto Aryodiguno, Ph.D
Dosen Hubungan Internasional President University

PADA tanggal 5 April 2025, Taiwan memperingati 50 tahun wafatnya Presiden Chiang Kai-shek, pemimpin Republik China yang perjalanannya sangat menentukan arah sejarah China modern dan masa depan Taiwan.

Dalam ingatan sejarah, Chiang sering dihadirkan sebagai tokoh yang memimpin pemerintahan otoriter dan pemegang peran sentral dalam kampanye anti-komunis pasca-perang saudara China. Namun, seiring waktu dan terutama dalam konteks demokrasi Taiwan saat ini, sosok Chiang menjadi simbol reflektif yang lebih kompleks—antara warisan, luka, dan harapan.

Dulu, tanggal wafat Chiang adalah hari nasional yang penuh penghormatan; kini, generasi muda Taiwan banyak yang tidak lagi memiliki relasi emosional terhadap figur ini.

Namun ketidakterikatan ini bukanlah bentuk pelupaan sejarah, melainkan hasil dari sebuah proses demokratisasi yang telah membebaskan masyarakat dari politik kultus individu. Hal ini menjadi indikator sehatnya ruang publik Taiwan pasca-otoritarianisme.

Ironisnya, dalam dinamika politik kontemporer, Partai Progresif Demokratik (DPP)—yang dikenal sebagai oposisi keras terhadap warisan KMT dan Chiang—justru mulai menggunakan simbolisasi Chiang dalam narasi politik tertentu, khususnya dalam menegaskan posisi “anti-komunis” mereka.

Dalam kondisi ini, terlihat bahwa demokrasi bukanlah milik satu ideologi atau satu partai, melainkan ruang bersama yang terus dinegosiasikan oleh seluruh elemen bangsa.

Namun, substansi dari peringatan ini lebih dari sekadar simbol. Ia menjadi momen penting untuk menegaskan kembali bahwa demokrasi adalah cita-cita utama rakyat Taiwan—dan juga, secara historis dan moral, cita-cita rakyat China yang sejati.

Demokrasi Taiwan hari ini bukan hanya pencapaian institusional, tetapi merupakan manifestasi dari semangat kebangsaan China yang telah lama diperjuangkan oleh generasi perintis Republik China sejak zaman Sun Yat-sen.

Dalam konteks inilah, Taipei bukan sekadar ibu kota administratif, melainkan representasi hidup dari apa yang bisa dicapai oleh sebuah “China Demokratis”.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *