loading…
Adhitya Wardhono, PhD. Foto/Istimewa
Dosen dan peneliti Fakultas Ekonomi dan Bisnis-Universitas Jember. Koordinator Kelompok Riset Behavioral Economics on Monetary, Financial, and Development Policy” (KeRis Benefitly)- Universitas Jember.
SERING kali terjadi, ketika rilis kebijakan bank sentral dianggap tidak memiliki efek kuat pada perekonomian, di situlah menyeruak kegalauan bahwa ada ketidaktepatan dan dilematis atas pilihan opsi kebijakan ekonomi yang terjadi. Terlebih ketika independensi bank sentral menjadi kunci penting dalam menjaga stabilitas ekonomi global.
Munculnya fenomena populisme ekonomi membawa tantangan serius terhadap independensi bank sentral seperti Bank Indonesia (BI). BI memiliki peran tidak hanya menjaga stabilitas inflasi dan nilai tukar rupiah tapi juga dan sistem keuangan. Ketika kebijakan moneter dipertentangkan dengan kebijakan populis yang menekankan pertumbuhan ekonomi jangka pendek, bank sentral sering kali berada di persimpangan jalan, mengikuti logika ekonomi atau tunduk pada tekanan politik?
Galibnya populisme ekonomi diartikan sebagai kebijakan yang mengutamakan kepentingan jangka pendek demi popularitas politik. Dan sering kali mengabaikan realitas moneter yang memerlukan stabilitas dan kehati-hatian. Pertanyaannya, bagaimana BI bisa menjaga independensinya di tengah tuntutan kebijakan populis yang sering bertolak belakang dengan realitas ekonomi?
Populisme ekonomi adalah kebijakan yang terlihat “pro-rakyat”, tetapi sering kali hanya menyasar hasil jangka pendek. Biasanya, kebijakan ini diimplementasikan menjelang pemilu atau saat ekonomi melambat. Contohnya ialah pencetakan uang dalam jumlah besar untuk membiayai defisit fiskal, pemotongan suku bunga secara agresif, atau subsidi yang tidak berkelanjutan.
Di Indonesia, populisme ekonomi bukan hal baru. Dalam berbagai momen politik, tekanan terhadap BI sering muncul, baik secara eksplisit maupun implisit. Semisal, saat terjadi krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19. Muncul dorongan agar BI mencetak uang atau memberikan dukungan fiskal besar-besaran. Meski terlihat menarik, kebijakan seperti ini bisa merusak fondasi ekonomi jangka panjang, terutama stabilitas inflasi. Ritme seperti ini terjadi di berbagai negara, tatkala tekanan politik menyebabkan bank sentral harus “berkompromi” dengan kebijakan populis demi memenuhi ekspektasi masyarakat atau pemerintah.
Seberapa Penting Independensi Bank Sentral?
Independensi bank sentral tidak datang begitu saja. Sejak era inflasi tinggi di tahun 1980-an, banyak negara menyadari bahwa kebijakan moneter yang dikendalikan oleh pemerintah bisa berujung pada ketidakstabilan. Bank sentral diberi independensi untuk menjaga stabilitas harga dan menghindari campur tangan politik jangka pendek.
Di Indonesia, independensi BI diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1999, yang kemudian diperkuat dengan UU No. 6 Tahun 2009. Tugas utama BI adalah menjaga stabilitas rupiah melalui pengendalian inflasi dan stabilitas nilai tukar. Dengan independensi ini, BI memiliki kewenangan untuk menetapkan suku bunga acuan (BI Rate) dan kebijakan moneter lainnya tanpa intervensi langsung pemerintah. Namun, independensi ini bukan tanpa tantangan. tekanan politik bisa muncul kapan saja, terutama ketika ekonomi sedang tertekan. Apalagi, dalam konteks demokrasi, pemerintah sering kali dihadapkan pada dilema antara kebijakan populer dan kebijakan ekonomi yang berkelanjutan.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi tantangan besar di bidang ekonomi. Dari pelemahan nilai tukar rupiah, inflasi akibat kenaikan harga pangan dan energi global, hingga peningkatan utang pemerintah. Dalam situasi seperti ini, kebijakan BI sering kali menjadi sorotan. Misalkan, ketika ekonomi melambat, muncul dorongan agar BI menurunkan suku bunga demi mendorong kredit dan investasi. Namun, kebijakan ini harus dilakukan dengan hati-hati. Jika suku bunga terlalu rendah, hal ini bisa mendorong inflasi tinggi dan melemahkan nilai tukar rupiah, yang pada akhirnya justru merugikan ekonomi. Sebagai contoh, di tengah pandemi COVID-19, BI menurunkan suku bunga ke level rendah untuk mendorong pemulihan ekonomi. Langkah ini memang membantu, tetapi juga menimbulkan risiko peningkatan utang dan bubble di sektor properti serta keuangan.