
loading…
Tifauzia Tyassuma, Dokter, Epidemiolog Perilaku dan Neuropolitika. Foto/Dok.SindoNews
Dokter, Epidemiolog Perilaku dan Neuropolitika
DALAM beberapa tahun terakhir, dunia politik Indonesia mengalami pergeseran yang halus, tapi menentukan. Politik tidak lagi terutama dipahami sebagai arena pertukaran gagasan, perdebatan program, atau adu argumentasi rasional, melainkan sebagai ruang produksi dan sirkulasi afeksi, emosi dan perasaan.
Emosi—marah, takut, bangga, tersinggung—menjadi mata uang utama yang menggerakkan perhatian publik. Hemat saya, kita sedang menyaksikan apa yang saya sebut sebagai politik afeksi: politik yang bekerja terutama melalui kesan, bukan penjelasan; melalui sentimen, bukan pemahaman.
Melalui manajemen perasan, bukan penggunaan akal sehat. Dalam 15 tahun terakhir, setidaknya ketika figur bernama Joko Widodo (Jokowi) hadir di tengah arena politik Indonesia, politik afeksi ini betul betul mendapat tempat yang luar biasa luas dan lapang.
Mari kita cermati. Pergeseran ini terlihat nyata dalam cara publik merespons peristiwa politik sehari-hari. Isu-isu kebijakan yang kompleks—perubahan undang-undang, polemik anggaran, atau implikasi jangka panjang dari putusan konstitusional—kerap tenggelam di bawah derasnya potongan video singkat, reels yang mempesona, gestur simbolik, atau satu kalimat kontroversial yang mudah dipelintir dan dibagikan.
Reaksi publik terbentuk sangat cepat, sering kali sebelum informasi utuh tersedia. Perasaan bekerja lebih cepat dari cahaya pikiran. Kesan awal menjadi penentu sikap, sementara upaya memberi konteks justru datang terlambat ketika opini sudah mengeras.
Dalam situasi seperti ini, ruang diskusi publik jarang sempat berkembang menjadi semacam arena pembebasan pikiran atau arena pemintaran. Percakapan segera terpolarisasi menjadi pro dan kontra yang emosional; kami-mereka. Siapa yang mencoba menjelaskan latar belakang, dampak kebijakan, atau kerumitan hukum sering dianggap bertele-tele, bahkan dicurigai punya agenda tersembunyi.
Rasionalitas tidak ditolak secara terbuka, tetapi kalah cepat. Ia tenggelam oleh arus impresi yang lebih memikat dan mudah dicerna.