Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

PMII dan Tantangan Kaderisasi di Era Ketidakpastian



loading…

Acep Jamaludin, Ketua Kaderisasi Nasional PB PMII. Foto/Dok. SindoNews

Acep Jamaludin
Ketua Kaderisasi Nasional PB PMII

DI tengah dunia yang bergerak semakin cepat dan kompleks, organisasi mahasiswa di Indonesia menghadapi pertanyaan mendasar: masihkah mereka relevan sebagai ruang kaderisasi kepemimpinan dan tempat menumbuhkan keberpihakan sosial?

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sebagai bagian dari sejarah panjang gerakan mahasiswa Indonesia, tengah berada di persimpangan. Ia memiliki warisan nilai yang kuat—ahlussunnah wal jamaah, nasionalisme, dan komitmen sosial. Namun, warisan saja tidak cukup untuk menjawab tantangan zaman yang telah berubah secara drastis.

Dunia tidak lagi ditentukan satu kutub kekuasaan. Persaingan geopolitik antara Amerika Serikat, China, dan Rusia menciptakan instabilitas baru. Populisme tumbuh subur, demokrasi liberal mengalami regresi, dan algoritma media sosial semakin menggantikan ruang dialog publik yang sehat. Dalam konteks inilah, sistem kaderisasi PMII harus dimaknai ulang.

Politik dan Perubahan Sosial
Kaderisasi bukan sekadar mekanisme keanggotaan atau pelatihan administratif. Ia adalah proses pembentukan manusia—yang berpikir kritis, memiliki kepekaan sosial, dan mampu bertindak dalam realitas yang kompleks. Di tengah polarisasi politik, derasnya disinformasi, dan ketimpangan sosial yang kian mencolok, proses ini tidak bisa berjalan seperti biasa.

Banyak organisasi mahasiswa terjebak dalam ritus struktural dan kompetisi jabatan internal, sementara masyarakat menghadapi krisis keadilan, lingkungan, dan keterasingan digital. Maka, pertanyaan yang harus dijawab: apakah kaderisasi hari ini membentuk pemimpin masa depan atau sekadar melanggengkan rutinitas organisasi?

Di tengah pesimisme ini, PMII masih menyimpan harapan. Namun harapan itu tidak akan tumbuh dari nostalgia. Ia hanya bisa dirawat jika kita berani melakukan penyegaran total terhadap sistem kaderisasi yang ada.

Menyusun Ulang Sistem Kaderisasi
Bidang Kaderisasi Nasional PB PMII merumuskan satu pendekatan baru. Kami menyebutnya sebagai model Era Baru Kaderisasi PMII yang berakar pada nilai, tetapi bertumbuh menjawab zaman. Tiga dimensi utama menjadi dasar: kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Kognitif mencakup penguasaan teori sosial dan ideologi. Kader perlu dibekali kemampuan analisis yang tajam agar tidak terombang-ambing oleh narasi populis. Afektif menekankan pembentukan empati dan kepekaan terhadap realitas sosial—karena militansi tidak cukup hanya dengan argumen, tetapi juga dengan hati yang terhubung pada penderitaan sesama. Sementara itu, psikomotorik diwujudkan dalam bentuk pengalaman langsung melalui aksi sosial, advokasi kebijakan, dan keterlibatan dalam dinamika masyarakat.

Proses kaderisasi ini dirancang melalui tahapan: pramapaba yang bersifat reflektif dan interaktif; Mapaba yang menanamkan nilai-nilai dasar PMII dalam konteks sosial; PKD sebagai ruang pendalaman isu dan praktik advokasi; serta PKL dan PKN untuk menyiapkan kepemimpinan strategis yang adaptif dan visioner.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *