Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Pengacara Hedon, Rakyat Tekor Rp60 Miliar untuk Menyapu Rp17,7 Triliun



loading…

Anggota Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia M. Afif Kurniawan menyoroti ulah oknum pengacara yang terlibat kasus dugaan suap vonis korupsi ekspor CPO. Foto/Ilustrasi/Dok.SindoNews

JAKARTA – Anggota Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia M. Afif Kurniawan mengatakan bahwa di tengah suara rakyat yang makin berat menanggung beban, harga kebutuhan pokok yang melonjak, subsidi yang dikurangi, dan utang negara yang membengkak, ada sekelompok orang yang hidup dalam dunia paralel. Bukan pejabat publik, bukan juga konglomerat langsung.

“Mereka adalah segelintir pengacara elite, seperti Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri, yang menjadikan hukum bukan sebagai alat keadilan, tapi panggung flexing sosial dan kekuasaan senyap,” kata Afif, Senin (21/5/2025).

Dia melanjutkan, Di saat banyak keluarga menjual motor demi menyekolahkan anak, mereka makan siang di restoran tempat harga nasinya bisa menutup listrik satu RT. Tapi ini bukan sekadar soal gaya hidup mewah.

“Ini soal bagaimana mereka menggunakan keahlian hukum untuk menyusun skema yang merugikan negara dan melecehkan konstitusi,” ungkapnya.

Menurutnya, Kedua nama itu belakangan makin terkenal, meski sebelumnya Ari Bakri lebih dulu dikenal sebagai dosen gadun. Tapi bukan karena prestasi, melainkan publik mengenalnya karena anasir korupsi.

“Kejaksaan menahan keduanya karena diduga terlibat dalam praktik suap. Tak main-main, yang disuap adalah hakim, sang pengadil yang seharusnya memperjuangkan keadilan, bukan kebatilan,” tuturnya.

Dalam kasus korupsi ekspor CPO, tiga raksasa sawit, Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group dinyatakan merugikan negara hingga Rp17,7 triliun. Namun, kata dia, alih-alih mengembalikan kerugian tersebut, jalan pintas diambil.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *