Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Pelanggaran HAM dan Kehidupan Tragis Perempuan Korea Utara



loading…

Dong Wan Kang, Profesor di Universitas Dong-A, Busan, Korea Selatan. Foto/Istimewa

Dong Wan Kang
Profesor di Universitas Dong-A, Busan, Korea Selatan
Pembawa Acara Kanal YouTube “Dong-Wan Kang TV”

DI KOREA UTARA, perempuan disebut sebagai “salah satu roda kereta revolusi”. Sebuah lagu populer berjudul “Perempuan Adalah Bunga” menggambarkan perempuan sebagai “bunga bangsa”. Negara ini juga memperingati tanggal 3 November sebagai “Hari Ibu” untuk semakin menekankan peran dan pentingnya perempuan.

Propaganda pemerintah mengklaim bahwa perempuan di “surga rakyat” ini menikmati kehidupan yang sangat bahagia. Namun, benarkah perempuan Korea Utara benar-benar bahagia? Sebelum berbicara tentang peran mereka sebagai perempuan, dapatkah mereka hidup dengan martabat sebagai manusia?

Secara umum, hak-hak perempuan mencakup kebebasan dari kekerasan seksual, hak untuk memilih, hak untuk memegang jabatan publik, hak yang setara dalam hukum keluarga, dan akses terhadap pendidikan. Dilihat dari perspektif hak asasi manusia (HAM), kehidupan mereka sungguh tragis.

Saya telah merekam kehidupan rakyat Korea Utara di sepanjang Sungai Yalu dan Tumen di perbatasan China-Korea Utara menggunakan lensa telefoto untuk membagikan kisah mereka kepada dunia. Di musim dingin yang sangat menusuk, dengan suhu di bawah -35°C, perempuan Korea Utaralah yang harus mengambil air atau mencuci pakaian di sungai yang membeku.

Dalam kenyataan keras ini, di mana listrik dan sistem air bersih sangat minim, seteguk air saja harus diambil dari sungai atau sumur. Peralatan rumah tangga seperti mesin cuci dan pengering, yang bagi kita sudah biasa, bagi mereka adalah kemewahan yang tak terbayangkan.

Di negara yang sangat tertutup ini, di mana perbatasan dijaga ketat, bahkan pupuk dasar untuk bertani pun sulit diakses—limbah manusia masih digunakan. Mengangkut limbah manusia ke ladang, yang dikenal sebagai “pertempuran pupuk,” adalah tugas wajib musim dingin bagi perempuan Korea Utara.

Menghidupi ekonomi rumah tangga juga menjadi beban mereka. Mereka harus menjual apa pun yang bisa dijual di pasar-pasar lokal untuk menghidupi keluarga, yang seringkali membuat mereka rentan terhadap eksploitasi seksual ilegal dan berulang.

Pelanggaran HAM terhadap perempuan Korea Utara yang diperdagangkan ke China sungguh tak terbayangkan parahnya. Dihadapkan pada ancaman kelaparan, melintasi perbatasan untuk mencari makanan sering menjadi satu-satunya pilihan—tetapi ini membuat mereka menjadi target empuk bagi para pelaku perdagangan manusia.

Sekitar 80% pembelot Korea Utara yang tiba di Korea Selatan adalah perempuan, dan di antara mereka, sekitar 70% pernah mengalami perdagangan manusia di China. Mereka yang beruntung bisa mencapai Korea Selatan dengan selamat adalah pengecualian.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *