Pasal Larangan Investigasi Harus Dihapus



loading…

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menolak Pasal 50 B Ayat 2 dalam draf revisi Undang-Undang (UU) penyiaran, tentang larangan penayangan eksklusif jurnalistik. Foto/Ilustrasi/SINDOnews

JAKARTA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menolak adanya Pasal 50 B Ayat 2 dalam draf revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran , tentang larangan penayangan eksklusif jurnalistik. AJI menilai, klausul tersebut sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers.

“Pasal itu harus dihapus, karena melarang investigasi di penyiaran itu sama saja pembungkaman pers,” ujar Sekjen AJI Indonesia, Bayu Wardhana saat dikonfirmasi, Sabtu (11/5/2024).

“Pasal ini membingungkan. Mengapa ada larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi? Tersirat
ini membatasi agar karya jurnalistik investigasi tidak boleh ditayangkan di penyiaran. Sebuah upaya
pembungkaman pers sangat nyata,” sambungnya.

Bayu menjelaskan jurnalisme investigasi ini sangat penting bagi masyarakat. Karena berperan untuk membuka tabir berbagi bentuk penyimpangan.

“Lewat jurnalisme investigasi, masyarakat akan tahu jika terjadi penyimpangan seperti korupsi, pengrusakan lingkungan, pelanggaran HAM. Contohnya kasus donasi ACT yang dibongkar lewat investigasi,” sambungnya.

Bersama stakeholder terkait, pihaknya juga sepakat kalau RUU ini sebaik ditunda terlebih dahulu. Apalagi menurutnya, penyusunan RUU penyiaran ini dilakukan secara tidak transparan.

“AJI, Remotivi dan beberapa organisasi masyarakat sipil sudah memberikan catatan pada RUU Penyiaran ini, khususnya soal isu jurnalistik pada 24 April lalu, salah satu menunda RUU ini karena proses pembuatannya tidak transparan dan terbuka,” sambungnya.

Konsekuensi lain dari perluasan dalam revisi UU Penyiaran adalah kewajiban produk jurnalisme penyiaran untuk tunduk pada aturan Komisi Penyiaran Indonesia (KIP). Hal ini dinilai dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan, karena selama ini produk jurnalisme diatur dan diawasi oleh Dewan Pers sebagaimana mandat Undang-Undang Pers.

“Pada pasal 42 disebutkan wewenang menangani sengketa jurnalistik hanya oleh KPI. Padahal selama ini kasus sengketa jurnalistik di penyiaran selalu ditangani oleh Dewan Pers. Draf RUU Penyiaran mempunyai tujuan mengambil alih wewenang Dewan Pers dan akan membuat rumit sengketa jurnalistik,” sambungnya.

(maf)



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *