Pakar Pariwisata UGM Dorong Pemerintah Beri Perhatian pada Pemangku Adat Destinasi Spiritual



loading…

Konflik antara pemangku adat atau juru kunci di destinasi spiritual milik masyarakat dengan para pengunjung atau wisatawan telah menjadi fenomena umum di Indonesia seiring maraknya wisata tradisi atau wisata spiritual. Foto/Instagram Ni Luh Djelantik

JAKARTA – Konflik antara pemangku adat atau juru kunci di destinasi spiritual milik masyarakat dengan para pengunjung atau wisatawan telah menjadi fenomena umum di Indonesia seiring maraknya wisata tradisi atau wisata spiritual. Karenanya, pemerintah diminta memberi perhatian kepada para pemangku adat atau juru kunci destinasi-destinasi wisata ‘non man made’ atau destinasi spiritual tersebut.

Pandangan ini disampaikan Guru Besar Pariwisata UGM, Baiquni menanggapi konflik antara turis India dan pemangku adat di Pura Tirta Empul, Bali yang viral. Turis tersebut bersikeras berdoa di area terlarang dengan mengabaikan larangan adat.

Baiquni menyarankan pemerintah memberi perhatian pada para pemangku adat yang ia sebut sebagai ‘The Masters’ itu. The Masters memegang pengetahuan, tradisi setempat, yang musti dihargai sebagaimana akademisi dihargai di kampus.

“Dunia punya Standar Etika Kepariwisataan Dunia itu saja bisa disosialisasikan ke para ‘The Masters.’ Mustinya ada pertemuan rutin antara pemerintah dan para pemangku adat itu untuk meningkatkan pelayanannya, selain tentu saja wisatawannya juga dididik,” kata Baiquni dalam keterangannya dikutip, Jumat (17/5/2024).

Pemerintah atau dunia usaha bisa membantu para juru kunci untuk memasang tanda do and don’t di tempat-tempat destinasi spiritual tersebut. Termasuk membantu sosialisasi kepada para wisatawan terutama kalau di Bali, tentu saja, wisatawan asing.

Baiquni mengatakan mengenai value keberlanjutan lingkungan, penghargaan terhadap adat istiadat dan “The Masters” atau pemangku adat atau juru kunci, dalam setiap destinasi Cultural Heritage. Sehingga, menurutnya, isu mengenai pengelolaan yang lebih profesional seperti yang tertuang dalam Panduan Global Kode Etik Kepariwisataan bisa diimplementasi di lapangan.

“Bagaimana kita sebagai host, juru kunci harus bagaimana, wisawatan yang beda kultur harus bagaimana. Kalau ada konflik harus bagaimana, itu semua saya kira memang perlu untuk dikelola dan dimajamen dengan baik dan profesional. Ini penting karena sesungguhnya destinasi-destinasi yang kecil-kecil itu kan memang peran utamanya ada di ‘The Masters’ nya,” papar Baiquni.

Sebelumnya, aktivis sosial Bali, Ni Luh Jelantik me-repost unggahan akun Instagram Jeg Bali terkait konflik antara turis India dan pemangku adat di Pura Tirta Empul, Bali. Dalam keterangan repost-nya, Ni Luh berharap pemerintah memperkuat desa adat.

“Perkuat desa adat. Lindungi pemangku agar tetap bisa menjaga taksu Bali. Buat bapak India, terimakasih telah support Bali. Mohon taati aturan di masing-masing desa. Matur suksma.’

Kasus serupa terjadi di Makam Raja-raja Kraton Jogja dan Solo di Imogiri, di mana guide wisata mengeluhkan tarif yang dianggap tidak wajar.

(rca)



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *