Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Pakar Anggap KUHAP yang Lama Bikin Aparat Penegak Hukum Terkotak-Kotak



loading…

Pakar Hukum Suparji Ahmad menganggap dengan konsep KUHAP yang menganut prinsip deferensial fungsional, setelah 43 tahun berlaku baru terasa saat ini Aparat Penegak Hukum terkotak-kotak dalam kinerjanya. Foto/Ilustrasi

JAKARTA – Pakar Hukum Suparji Ahmad menganggap bahwa dengan konsep KUHAP (UU Nomor 8 Tahun 1981) yang menganut prinsip deferensial fungsional, setelah 43 tahun berlaku baru terasa saat ini Aparat Penegak Hukum (APH) terkotak-kotak dalam kinerjanya. Hal itu, kata Suparji, tidak mencerminkan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) yang diharapkan.

Akibatnya, lanjut dia, tidak tercapai apa yang diharapkan karena terganggunya sinkronisasi dan harmonisasi kinerja APH. “Contohnya, dan ini hanya contoh teoris saja, apabila terjadi rekayasa berkas perkara dalam proses penyidikan, maka Jaksa tidak bakal tahu karena menurut KUHAP, Jaksa hanya membaca apa yang ada di berkas perkara. Seandainya itu benar-benar terjadi maka yang dirugikan adalah para pencari keadilan,” ujar Suparji, Rabu (12/2/2025).

Suparji mengatakan, sebenarnya kejaksaan tidak akan pernah memperluas kewenangan atau bahkan mengambil kewenangan lembaga lain. Namun hal yang harus didorong adalah perubahan paradigma dalam mekanisme kerja antara Penyidik dan Jaksa.

“Jika dulunya antara penyidik dan jaksa bekerja secara terpisah, menjadi penyidik dan jaksa bekerja bersama-sama dalam menegakkan hukum pidana,” jelasnya.

Kondisi kerja yang kolaboratif antara Penyidik dan Jaksa inilah, menurut Suparji yang harus diatur secara jelas dalam KUHAP mendatang. Menurutnya, penyidik dan jaksa adalah lembaga yang ada dalam satu rumpun eksekutif, sehingga organ kelengkapan di dalamnya tidak boleh terkotak-kotak.

“Jadi dalam sistem peradilan pidana nantinya yang melakukan kontrol atas kerja penyidik dan jaksa adalah hakim (pengadilan) sebagai pemegang kekuasaan yudikatif,” kata Suparji.

Konsep mekanisme kerja yang kolaboratif, menurut Suparji, cocok bagi bangsa Indonesia. Hal ini karena Indonesia berpaham integralistik. Artinya, lanjut dia, bisa bekerja bersama-sama secara gotong royong.

“Konsep deferensiasi fungsional sebagaimana dianut KUHAP yang saat ini berlaku disusun berdasarkan paham individualistik ala barat, yang tidak cocok bagi kita sebenarnya,” tuturnya.

Bahkan, lanjut Suparji, yang menjadi ironi sistem peradilan di barat, contohnya Amerika Serikat atau Belanda atau bahkan Korea Selatan, mengusung konsep kebersamaan kerja antara penyidik dan jaksa.

“Jadi pada kenyataannya mereka yang berpaham individualistik malah lebih integral dalam membuat dan mengatur hubungan kerja antara penyidik dan jaksa dalam sistem peradilan pidana mereka,” pungkasnya.

(rca)



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *