Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Mozaik Identitas, Kekuasaan, dan Mimpi yang Terbelah



loading…

Khairi Fuady, Co-Founder Indonesia South-South Foundation. Foto/Istimewa

Khairi Fuady
Co-Founder Indonesia South-South Foundation

DALAM rentang panjang sejarah dan denting ambisi manusia, konflik India-Pakistan berdiri bagai lukisan abadi, penuh warna luka dan harap. Kisah ini bukan sekadar pertarungan dua bangsa, melainkan mozaik identitas, kekuasaan, dan mimpi yang terbelah.

Pada 1947, ketika Imperium Inggris menarik nafas terakhirnya di anak benua India, lahirlah India dan Pakistan dari rahim kemerdekaan yang penuh darah. Garis Radcliffe, yang digurat dengan tergesa, bukan hanya memisahkan tanah, tetapi juga hati dan nasib.

Kashmir, dengan keindahan pegunungan dan lembahnya, menjadi simbol tragedi ini. Sebuah wilayah yang diperebutkan dengan doa dan pedang. Perang 1947, 1965, dan 1971, ditambah ketegangan Kargil 1999, menggores luka yang tak kunjung sembuh.

Sejarah ini bukan sekadar kronik peristiwa; ia adalah elegi tentang kebanggaan yang terluka, trauma kolektif, dan hasrat untuk diakui. Dengan lensa hubungan internasional, konflik ini bagaikan cermin yang memantulkan kerumitan dunia.

Dalam pandangan realisme, India dan Pakistan terperangkap dalam tarian kekuasaan yang mematikan. Sebagai kekuatan nuklir, keduanya menari di tepi jurang, di mana keamanan satu pihak adalah ancaman bagi yang lain.

Ketegangan di Line of Control (LoC) adalah pengingat bahwa keseimbangan teror sering kali lebih rapuh dari yang kita kira. Namun, konstruktivisme menawarkan sudut lain: konflik ini bukan hanya soal senjata, tetapi juga identitas.

Narasi agama, nasionalisme, dan memori sejarah membentuk musuh abadi dalam benak kolektif. Sementara itu, liberalisme berbisik tentang secercah harapan; dialog, perdagangan, atau inisiatif budaya seperti Aman ki Asha, meski sering kali tersandung oleh tembok ketidakpercayaan.

Konflik ini, dengan segala lapisannya, adalah bukti bahwa manusia adalah makhluk yang dirajut dari ambisi dan kerinduan akan kedamaian. Kini, di 2025, dunia menyaksikan India dan Pakistan dengan napas tertahan.

India, dengan ekonominya yang melonjak dan ambisi global, melangkah sebagai raksasa baru di panggung dunia. Pakistan, meski bergulat dengan tantangan internal, tetap kokoh dalam posisi strategisnya, diperkuat aliansi dengan Tiongkok.

Ketegangan di Kashmir terus menyala, dengan eskalasi sporadis di LoC yang mengingatkan kita pada kerapuhan harmoni. Dalam dunia yang terpolarisasi antara rivalitas AS-Tiongkok, krisis iklim, dan pergolakan geopolitik, konflik ini bukan lagi sekadar urusan regional. Ia adalah ujian bagi diplomasi global, di mana satu percikan kecil dapat mengguncang keseimbangan dunia.

Namun, di balik bayang-bayang konflik, ada pula cahaya harapan: suara masyarakat sipil, seniman, dan pemikir di kedua sisi perbatasan yang terus merajut benang perdamaian, meskipun dengan perlahan. India dan Pakistan, bagai dua saudara yang terpisah oleh sejarah, terus mencari nada harmoni di tengah disonansi.

Konflik mereka mengajarkan kita bahwa perdamaian bukanlah tujuan yang mudah direngkuh, melainkan perjalanan yang menuntut keberanian, empati, dan visi bersama. Di tengah dunia yang berputar cepat, mungkin saatnya kita merenung: akankah kedua bangsa ini menemukan jalan untuk mengubah elegi konflik menjadi simfoni damai? Hanya waktu, dan hati yang terbuka, yang dapat menjawab.

(rca)



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *