Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Misinterpretasi Kebijakan



loading…

Hendarman – Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikdasmen/Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan. Foto/Dok Pribadi

Hendarman
Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikdasmen/Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan

Berbagai kebijakan yang dimunculkan seringkali mendapatkan pendapat pro dan kontra. Harapan yang tadinya begitu tinggi terhadap sebuah kebijakan, dalam perjalanannya ternyata banyak yang juga menimbulkan kekecewaan. Apalagi kebijakan yang mendadak berubah setelah diluncurkan karena adanya berbagai tanggapan dari berbagai pemangku kepentingan terjadap implementasi kebijakan tersebut. Sampai terkesan kebijakan yang ada sekarang sangat mudah diguncang oleh suara netizen. Bukan tidak mungkin nanti akan timbul suatu fenomena baru yaitu bahwa kebijakan yang diusung pemerintah cenderung “kebijakan berbasis viral”.

Faktanya, banyak implementasi kebijakan yang tidak selamanya berjalan mulus. Padahal, yang membuat kebijakan mengklaim bahwa dalam perumusan kebijakan tersebut sudah mempertimbangkan berbagai aspek. Hal ini terjadi karena kebijakan, secara hakekat, memang dimaksudkan untuk kepentingan publik. Kepentingan publik dimaknai bahwa sebuah kebijakan seharusnya akan memberikan manfaat dan “kebahagiaan” bagi para target kebijakan.

Kepentingan publik seharusnya tidak dimaknai sebagai seluruh pemangku kepentingan yang ada. Tetapi, dilihat lebih kepada kekhususan yaitu siapa yang menjadi target kebijakan itu sendiri. Kebijakan secara teoretis pada dasarnya memiliki karakteristik khusus yaitu dalam hal konteks, konten dan konfigurasi.

Karakteristik yang dimiliki sebuah kebijakan tersebut menjadi suatu pembatas. Pembatas diartikan bahwa sebuah kebijakan seyogianya tidak dapat diinterpretasikan secara bebas. Artinya latarbelakang dan pengalaman seseorang yang tidak berkesesuaian akan mendorong lebih banyak adanya multi-tafsir dari sebuah kebijakan. Ini terutama bagi mereka yang tidak berkepentingan atau tidak memiliki kesesuaian dengan konteks, konten, dan konfigurasi kebijakan itu sendiri.

Munculnya Misinterpretasi Kebijakan
Ketidakselarasan tersebut acapkali memicu munculnya kegaduhan terhadap komunitas akibat interpretasi kebijakan diungkapkan dengan tidak memahami “ruh kebijakan” itu sendiri. Pendapat atau opini serta kritikan yang lahir lebih kepada cara pandang dan paradigma berfikir yang pada intinya didasarkan atas “pokoknya berani berbicara berbeda”. Ini yang berimplikasi kepada adanya misinterpretasi kebijakan.

Terkadang ada asumsi yang dipegang bahwa komentar dan tudingan akan dapat membuat rasa empati atau ketidaksukaan terhadap suatu kebijakan. Tetapi, di sisi lain lontaran pendapat tersebut ditujukan untuk menguatkan kebijakan itu sendiri karena dilihat sebagai suatu proses pemahaman dan penyamaan persepsi setelah melalui suatu proses diskursus. Hal ini ditengarai dilatarbelakangi pemikiran bahwa terkadang kebijakan yang diluncurkan atau ditetapkan tersebut tidak atau belum melalui proses sosialisasi atau uji-publik.

Padahal, suatu kebijakan yang ideal dipersyaratkan untuk diuji terutama dalam hal keterbacaan dan pemahaman. Sehingga ketika kebijakan ini diterapkan tidak menimbulkan kegaduhan dan kekacauan di masyarakat. Yang sering muncul sekarang adalah pkecenderungan bahwa kebijakan yang ditetapkan Pemerintah tidak memiliki kepastian hukum dan tidak memiliki kepastian bahwa kebijakan itu sendiri akan memberikan dampak manfaat bagi masyarakat. Yang terkesan di masyarakat secara umum adalah bahwa kebijakan yang ditetapkan lebih menguntungkan kepada kelompok tertentu yang bukan merupakan kelompok mayoritas.

Randall G. Holcombe (2018) dalam bukunya Political Capitalism: How Economic and Political Power Is Made and Maintained, berpendapat bahwa penegakan atau “enforcement” dari suatu kebijakan, sebagai suatu ketentuan hukum, memang harus dimulai dengan interpretasi. Ditegaskannya bahwa interpretasi merupakan suatu hal yang lumrah karena peraturan termasuk kebijakan terkadang memberikan ruang untuk menyebabkan lahirnya perbedaan tafsir. Kebijakan juga cenderung terkait dengan selektivitas yaitu dimana kemungkinan kebijakan diarahkan untuk kepentingan dari kelompok tertentu.

Holcombe mengatakan lebih lanjut bahwa kata-kata yang tertulis dalam bentuk peraturan atau kebijakan dapat diinterpretasikan dalam berbagai cara. Suatu kebijakan ketika dalam proses perumusan tidak mendapat persetujuan secara aklamasi atau “unanimously”, yaitu mungkin banyak yang cenderung tidak memiliki kesetujuan.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *