Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Menurunkan Prevalensi Stunting



loading…

Muhammad Irvan Mahmud Asia, Sekjen DPP Serikat Rakyat Indonesia (SERINDO). Foto/Dok.Pribadi

Muhammad Irvan Mahmud Asia

Sekjen DPP Serikat Rakyat Indonesia (SERINDO)

STUNTING merupakan masalah kesehatan masyarakat yang mendesak dan telah menjadi fokus utama agenda kesehatan nasional. Hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi stunting Indonesia mencapai 21,5%. Meski tren dalam 5 tahun terakhir menunjukan penurunan, rata-rata 1,85% per tahun.

Persentase tersebut masih cukup tinggi dibandingkan standar World Health Organization (WHO) di bawah 20%. Dengan demikian, Indonesia terkategorikan negara dengan prevalensi stunting kronis.

Berkaca pada pencapaian 5 tahun terakhir-hanya turun 9,3%, sehingga target pemerintah menurunkan prevalensi dilevel 14% (target RPJMN 2020-2024) nyaris mustahil. Patut dinantikan hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGI) tahun 2024 yang sedang proses finalisasi.

Mengacu pada publikasi Asian Development Bank (ADB) tahun 2020 dimana terdapat 31,8% anak di Indonesia mengalami stunting. Menjadikan Indonesia tertinggi ke dua di Asia Tenggara setelah Timor Leste. Sementara laporan World Bank, Indonesia berada posisi empat setelah Burundi (50,9%), Eritrea (49,1%), dan Timor Leste (48,8%).

Tingginya angka stunting tidak saja mengindikasikan kurangnya asupan gizi yang memadai pada anak, tetapi juga mencerminkan ketidakseimbangan akses terhadap layanan kesehatan dasar, air bersih, sanitasi, dan praktik pemberian makanan yang tepat.

Situasi ini menunjukkan kesenjangan ekonomi dan sosial yang mencolok antar daerah di Indonesia. Sebagai salah satu indikator gizi terpenting, stunting sering digunakan sebagai ukuran untuk menilai kemajuan atau kemunduran suatu negara dalam mencapai SDGs.

Tujuan 2 SDGs adalah salah satunya adalah mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik pada tahun 2030, yang ditargetkan menghilangkan segala bentuk kekurangan gizi untuk anak pendek dan kurus dibawah usia 5 tahun, dan memenuhi kebutuhan gizi remaja perempuan, ibu hamil dan menyusui, serta manusia lanjut usia (manula).

Dampak Jangka Panjang

Stunting jelas berdampak pada gangguan pertumbuhan (berat lahir, kecil, pendek, dan kurus), hambatan perkembangan kognitif dan motorik, dan gangguan metabolik pada saat dewasa berupa risiko penyakit tidak menular seperti diabetes, obesitas, dan sebagainya. Dan secara luas berdampak pada ketersediaan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing.

Laporan World Bank (2020) menyebut Human Capital Index (HCI) sebagai tolak ukur untuk menilai kualitas produktivitas optimum penduduk di masa depan, antara lain sangat ditentukan oleh pertumbuhan anak hingga usia lima tahun. Dalam laporan itu, nilai HCI Indonesia sebesar 0,54.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *