Mengapa Perempuan Bisa Sekejam Itu? Istri Bunuh Suami


loading…

Pengajar Departemen Kriminologi UI, Vinita Susanti. FOTO/DOK.PRIBADI

Dr Vinita Susanti, MSi
Pengajar Departemen Kriminologi UI dan Pengurus ASPERHUPIKI

PADA hari Sabtu, 8 Juni 2024, kita digemparkan dengan pemberitaan yang cukup mengejutkan mengenai seorang istri yang tega membunuh suaminya sendiri, di Mojekerto. Dalam kehidupan bermasyarakat, kita seringkali dihadapkan pada fenomena-fenomena yang memicu perdebatan dan mengguncangkan persepsi kita tentang norma-norma yang selama ini dipegang teguh. Salah satu yang menjadi sorotan publik adalah insiden pembunuhan seorang suami oleh istrinya sendiri di Mojokerto. Peristiwa tragis ini tidak hanya mengejutkan masyarakat luas, tetapi juga membuka diskusi tentang kompleksitas permasalahan yang melatar belakanginya.

Kasus ini menyoroti isu bias gender terhadap perempuan sebagai pelaku kejahatan. Perempuan, khususnya seorang istri yang melakukan pembunuhan, dipandang sebagai penyimpangan ganda. Pertama, kerena secara sosial perempuan tidak diharapkan melakukan kejahatan. Kedua, karena kejahatan yang dilakukannya, dalam hal ini pembunuhan merupajan suatu pelanggaran berat.

Berdasarkan laporan dari Sindonews.com, kasus ini bermula ketika sang istri mengecek saldo rekening ATM suaminya dan mendapati bahwa gaji ke-13 yang seharusnya berjumlah Rp2.800.000,-, hanya tersisa Rp800.000,-. Setelah diselidiki lebih lanjut, terungkap bahwa suaminya telah menghabiskan uang tersebut untuk berjudi online, padahal uang itu seharusnya digunakan untuk menghidupi tiga orang anak mereka yang masih batita dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Kejengkelan sang istri, yang juga seorang polisi wanita (Polwan), memuncak dan menyebabkan terjadinya insiden pembunuhan. Saat ini, sang istri mengalami trauma berat akibat kejadian tersebut dan mendapat pendampingan psikologis.

Fakta bahwa kedua pihak yang terlibat dalam insiden ini merupakan anggota Polri semakin menambah kejutan dan kontroversi dalam kasus ini. Mengapa masalah pembunuhan ini bisa terjadi pada pasangan yang seharusnya memahami betul konsekuensi hukum dari tindakan kriminal? Apakah faktor ekonomi dan kecanduan judi online menjadi pemicu utama terjadinya insiden ini, atau faktor lain? Berikut ini pembahasan mengapa perempuan sebagai istri bisa membunuh suaminya.

Dekontruksi: Perempuan Korban Bisa Jadi Pelaku dalam Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat didefinisikan sebagai tindakan kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, baik secara fisik, psikis, seksual, maupun penelantaran ekonomi, yang dilakukan oleh suami terhadap istri, atau sebaliknya, atau terhadap anggota keluarga lainnya (Sinombor, 2023; Komnas Perempuan, 2024). KDRT tidak hanya mencakup kekerasan fisik semata, tetapi juga meliputi kekerasan emosional, penghinaan, ancaman, dan tindakan lain yang membatasi kekebasan seseorang (Wang & Sekiyama, 2023).

Terkait kasus pembunuhan yang terjadi di Mojokerto, istri yang disangkakan membunuh suaminya sendiri, bukan tidak mungkin diawali dengan menjadi korban KDRT. Informasi menunjukkan adanya kekerasan penelantaran ekonomi, dimana suami kerap bermain judi online, uang tidak digunakan untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Di samping itu, sang istri juga mengalami kekerasan psikis dan fisik dalam kehidupan berumah tangga. KDRT merupakan masalah yang kompleks dan seringkali tidak terungkap karena banyak korban yang memilih untuk menjadi ‘silent sufferers” atau penderita yang diam (Bhattacharya et al, 2020). Hal ini disebabkan konstruksi gender dalam sistem patriarki yang mendukung dominasi laki-laki atas perempuan, serta adanya ketimpangan power relationship antara pelaku dan korban (Winarti, 2023; Slabbert, 2016).

Pada umumnya pemberitaan atau studi menempatkan perempuan sebagai korban KDRT. Perempuan memang potensial menjadi korban, namun jenis kelamin bukan semata alasan. Bukan tidak mungkin perempuan dapat juga menjadi pelaku kejahatan pembunuhan. Perempuan, sebagai seorang ibu, bisa melakukan pembunuhan dengan berbagai alasan, seperti ekonomi, stress dalam urusan rumah tangga, seperti yang terjadi pada kasus di Mojekerto ini, istri bunuh suami. Akan tetapi, kejahatan pembunuhan dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu laki-laki maupun perempuan. Hasil penelitian menunjukkan perempuan yang membunuh, pada umumnya yang menjadi korban adalah suaminya (Susanti, 2015), dan ditemukan juga tidak mempunyai riwayat kejahatan (Flynn, 1990). Kejahatan yang dilakukan adalah kejahatan yang khas, di mana istri yang dituduhkan sebagai pelaku pembunuhan adalah korban dari KDRT suaminya sendiri.

Catatan Hukum Kita dalam Perspektif Kriminologi Feminis

Perspektif kriminologi feminis menawarkan sudut pandang yang berbeda dalam mengkaji kasus istri bunuh suami. Kriminologi feminis berfokus pada isu-isu yang menyoroti perbedaan antara pola kejahatan dan viktimisasi laki-laki dan perempuan (Walklate, 2004). Dengan menerapkan perspektif gender dalam pembahasan kejahatan dan viktimisasi, kriminologi feminis berupaya membuat korban tersembunyi, seperti KDRT menjadi terlihat. Hal ini menimbulkan kesadaran bahwa terdapat implikasi gender dalam konteks KDRT. Dengan demikian, kriminologi feminis memberikan perspektif yang lebih komprehensif dalam memahami dinamika KDRT, serta mengupayakan keadilan bagi korban yang sebelumnya tersembunyi atau terpinggirkan. Dalam hal ini, sudut pandang penulis adalah istri sebagai korban yang menjadi pelaku. Berikut ini adalah gambaran terkait istri yang mengalami KDRT yang dituduhkan membunuh suaminya.

Gambar 1.
Perempuan Korban KDRT yang menjadi Pelaku Pembunuhan

Mengapa Perempuan Bisa Sekejam Itu? Istri Bunuh Suami

Istri yang membunuh suaminya merupakan suatu kejahatan yang khas dalam konteks KDRT. Kekerasan yang dilakukan oleh istri sebagai pelaku menurut hukum kita sering dilatar belakangi oleh adanya KDRT, seperti penelantaran ekonomi, kekerasan fisik dan kekerasan psikis yang dialami sebelumnya, seperti yang terjadi pada kasus di Mojokerto. KDRT menunjukkan bahwa tindakan bunuh suami ini dalam konteks domestik yang berkelanjutan.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *