loading…
Dosen Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta, Witanti Prihatiningsih. FOTO/DOK.PRIBADI
Dosen Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta
DONALD Trump kembali menjadi presiden terpilih Amerika Serikat (AS) setelah mengalahkan Kamala Harris di Pemilihan Umum Presiden 2024. Walau tersangkut sejumlah kasus hukum, Trump tetap mampu melaju sebagai kandidat Partai Republik dan meraih posisi tertinggi di Gedung Putih. Sementara Harris, yang jauh lebih unggul dalam hal sumber daya dan dana kampanye, justru kalah cukup jauh dari Trump. Apa yang sebenarnya terjadi?
Sebelum membahas mengenai Trump atau Harris, mari kita lihat kondisi AS dalam beberapa tahun terakhir. Menurut data Reuters, tingkat penerimaan publik (approval rating) Presiden AS Joe Biden terus menurun, dari 55% di awal menjabat di tahun 2021 anjlok ke kisaran 38% hingga 37% per September 2024. Merosotnya popularitas Biden ini disebabkan banyak hal, namun yang paling dikeluhkan sebagian masyarakat AS adalah terkait kondisi ekonomi.
Data dari AP VoteCast tahun ini memperlihatkan bahwa sekitar 3 dari 10 pemilih di AS mengatakan situasi keuangan keluarga mereka terpuruk, meningkat dari 2 per 10 orang empat tahun lalu. Sementara 9 dari 10 pemilih merasa sangat atau sedikit khawatir mengenai harga bahan makanan. Survei lain dari NBC News pada September 2024 menyebutkan bahwa 65% pemilih meyakini bahwa AS sedang melaju ke arah yang salah.
Angka-angka ini memberikan gambaran bahwa sebagian, atau bahkan lebih dari separuh warga AS, sudah muak dengan pemerintahan Partai Demokrat di bawah Biden yang dinilai tidak becus mengurus negara. Walau mencoba menjaga jarak dengan Biden setelah menjadi capres Demokrat, Harris tetap terkena imbas dari kekesalan warga AS terhadap Demokrat. Harris tidak bisa melepaskan diri dari citra buruk Demokrat.
Memulai kampanye dalam posisi kurang menguntungkan karena dipandang sebagai representasi pemerintah, Harris juga melakukan kesalahan fatal sebagai capres: terlalu fokus menyerang Trump. Harris gagal mengkomunikasikan dirinya sebagai tokoh Demokrat yang berbeda dari Biden, yang akan menghadirkan Amerika yang benar-benar baru.
Harris justru lebih cenderung menonjolkan latar belakangnya yang pernah menjadi jaksa untuk menyerang Trump, mencoba meyakinkan warga AS bahwa seorang kriminal sudah sepantasnya tidak menjadi presiden. Serangan demi serangan terus dilayangkan Harris, bahkan saat acara debat capres di bulan September. Di hari-hari terakhir kampanye, Harris melabeli Trump sebagai seorang tokoh fasis dan tidak stabil yang tak bisa dibiarkan untuk menjadi kepala negara. Secara keseluruhan, sebagian besar energi Harris selama kampanye digunakan untuk menyerang habis Trump.
Sebenarnya Trump juga melancarkan serangan-serangan personal ke Harris, bahkan sebelum wapres AS itu menggantikan Biden sebagai kandidat Demokrat. Trump kerap merendahkan Harris, menyebut orang nomor dua di AS itu sebagai sosok ‘radikal kiri’ yang tidak becus mengurus berbagai isu, terutama seputar perbatasan. Saat Harris menjadi capres Demokrat, Trump semakin gencar melancarkan serangan personal dengan kata-kata yang cenderung lebih kasar dari yang digunakan Harris.
Namun hal yang membedakannya dengan Harris adalah Trump mengimbangi serangan personalnya dengan mengkomunikasikan dengan jelas apa-apa saja yang akan dilakukan saat ia kembali ke Gedung Putih. Trump menjadikan keimigrasian sebagai isu andalan, dan ia berulang kali menyuarakan janji mengusir imigran gelap begitu dirinya menjadi presiden. Sementara Harris dipersepsikan kurang tegas pada isu ini, dengan hanya menjanjikan perbatasan yang lebih aman dan menjunjung hak-hak para imigran serta pencari suaka.
Untuk bidang ekonomi, Harris dan Trump sebenarnya sama-sama menyuarakan janji untuk memperbaiki nasib kelas pekerja. Namun sekali lagi, Trump menggunakan gaya komunikasi yang lebih mudah dipahami kelas pekerja, dengan salah satunya mengatakan bahwa ia akan lebih keras terhadap China yang dituding telah banyak mencuri pekerjaan di AS. Kata-kata yang digunakan Harris dalam isu ini lebih teknis, dan cenderung sulit masuk ke dalam benak masyarakat kelas pekerja, terutama yang tinggal di wilayah pinggiran dan pedesaan.
Pilpres AS x Pilpres RI
Ada sedikit kemiripan antara pilpres di AS dan Indonesia tahun ini. Prabowo Subianto, yang saat ini menjadi presiden ke-8 Republik Indonesia, menggunakan gaya komunikasi yang lebih luwes dan membumi semasa kampanye untuk menyentuh masyarakat umum di wilayah pinggiran dan pedesaan. Sementara rival terdekat Prabowo semasa kampanye, Anies Baswedan, cenderung menggunakan kata-kata dan istilah teknis yang ‘terlalu tinggi’ dan sulit dipahami masyarakat umum, terutama dari kelompok yang tidak mengenyam pendidikan tinggi.