Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Liga Arab, Gaza, dan Bayang-bayang Washington



loading…

Eko Ernada. Foto/Istimewa

Eko Ernada
Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember

KETIKA para pemimpin Arab berkumpul di Kairo pada 4 Maret lalu, sorotan dunia tertuju pada mereka. Di balik ruangan megah yang menyimpan sejarah peradaban, tersirat harapan dan kegamangan. KTT Liga Arab kali ini bukan sekadar agenda diplomasi rutin, tetapi sebuah panggilan nurani di tengah puing-puing Gaza yang terus merintih. Di setiap jabat tangan dan senyum protokoler, ada tuntutan moral yang menggelayuti: bagaimana dunia Arab menyikapi luka yang terus menganga di Palestina?

Dari pertemuan ini, lahirlah sederet komitmen yang, di atas kertas, tampak menjanjikan: rencana rekonstruksi Gaza tanpa pemindahan paksa, penolakan terhadap proyek AS yang hendak mengubah Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah,” serta janji pendanaan dari negara-negara Teluk. Namun, janji-janji ini menghadapi ujian di medan realitas. Sejarah menunjukkan bahwa keputusan yang dihasilkan di meja perundingan sering kali berakhir dalam kebuntuan eksekusi, terhambat oleh kepentingan politik dan diplomasi yang saling bertabrakan.

Dilema Solidaritas dan Geopolitik

Sejarah mengajarkan bahwa dunia Arab sering tersandera oleh kepentingan yang saling berkelindan. Ada yang mengusung retorika solidaritas, tetapi di balik layar menjalin diplomasi senyap dengan Washington dan Tel Aviv. Ada yang lantang membela Palestina , tetapi ragu melawan arus kepentingan ekonomi dan geopolitik. Pertanyaannya tetap menggantung: apakah ini sekadar retorika yang menenangkan kegelisahan publik, atau benar-benar upaya nyata yang akan mengubah nasib Gaza?

Beberapa negara Arab, seperti Yordania dan Aljazair, masih mempertahankan sikap tegas dalam mendukung Palestina. Namun, negara-negara Teluk seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab memiliki kepentingan ekonomi yang semakin dalam dengan Barat dan Israel. Dalam situasi seperti ini, solidaritas terhadap Palestina sering kali menjadi alat tawar-menawar politik. Bahkan, Arab Saudi yang sebelumnya dikenal sebagai pendukung utama perjuangan Palestina, kini cenderung mengambil pendekatan pragmatis dengan mempertimbangkan dampak normalisasi hubungan dengan Israel terhadap stabilitas regional.

Di tingkat global, peran Amerika Serikat menjadi variabel kunci. Steven A. Cook, dalam bukunya The End of Ambition: America’s Past, Present, and Future in the Middle East, menyoroti bagaimana kebijakan AS di Timur Tengah sering kali dipengaruhi ambisi yang tidak sejalan dengan realitas politik kawasan. Di era Trump, kebijakan pragmatis-transaksional AS lebih fokus pada kepentingan jangka pendek ketimbang stabilitas jangka panjang. Trump melanjutkan kebijakan pro-Israel dengan memperkuat hubungan dengan pemerintahan Netanyahu dan mempercepat implementasi Abraham Accords. Dukungan AS terhadap pemukiman ilegal di Tepi Barat dan sikapnya terhadap Gaza memberi tekanan bagi negara-negara Arab untuk menyesuaikan diri dengan strategi Washington.

Fragmentasi dan Ketidakefektifan Liga Arab

Fragmentasi internal yang terus berlangsung menjadi tantangan utama bagi Liga Arab dan semakin menghambat efektivitas diplomasi regional. Perpecahan antara negara-negara Teluk, sikap ambivalen Mesir terhadap konflik Gaza, serta kepentingan strategis Turki dan Iran yang sering berbenturan dengan negara-negara Arab lainnya menjadikan langkah kolektif sangat sulit. Tanpa kesatuan visi dan aksi, pernyataan bersama yang dihasilkan dari KTT hanya menjadi dokumen tanpa dampak nyata.

Kegagalan Liga Arab dalam merespons krisis regional—seperti perang saudara Suriah, intervensi di Yaman, serta normalisasi dengan Israel—menunjukkan betapa besar dampak dari fragmentasi ini. Dalam isu Palestina, misalnya, perbedaan sikap terhadap Israel semakin melemahkan posisi tawar Palestina. Rashid Khalidi dalam The Hundred Years’ War on Palestine menunjukkan bagaimana negara-negara Arab lebih fokus pada agenda domestik daripada membela Palestina secara kolektif.

Sejarah mencatat bagaimana fragmentasi internal Liga Arab menghambat respons terhadap agresi Israel ke Lebanon pada 1982. Ketika Israel melancarkan invasi untuk menumpas Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), tidak ada respons militer atau diplomatik yang solid dari Liga Arab. Fragmentasi serupa juga terjadi dalam menangani konflik Gaza saat ini, di mana perbedaan kepentingan antarnegara anggota menghambat tindakan yang lebih konkret.

Selain itu, peran Iran dalam mendukung kelompok-kelompok seperti Hamas dan Hizbullah menjadi salah satu faktor utama yang memperburuk fragmentasi ini. Negara-negara Teluk yang pro-Barat dan negara-negara yang lebih terbuka terhadap pengaruh Iran, seperti Suriah dan Lebanon, memiliki sikap yang berbeda terhadap Tehran. Ketegangan ini semakin memperburuk kebijakan luar negeri negara-negara Arab secara keseluruhan, membuat mereka kesulitan untuk mengembangkan kebijakan kolektif yang efektif.

Dinamika internal Liga Arab juga mencerminkan ketidakefektifan diplomasi regional akibat kurangnya kesatuan strategis. Shibley Telhami dalam The Stakes: America in the Middle East menegaskan bahwa negara-negara Arab sering kali tersandera oleh dinamika geopolitik global, yang semakin memperburuk fragmentasi. Ketidaksepakatan antarnegara Arab sering dimanfaatkan oleh kekuatan eksternal seperti Amerika Serikat dan Rusia untuk memperkuat posisi geopolitik mereka, semakin memperumit krisis di Timur Tengah.

Jalan ke Depan: Retorika atau Tindakan Nyata?

Liga Arab menghadapi dilema besar. Di satu sisi, mereka harus membuktikan bahwa pertemuan ini bukan sekadar ritual diplomasi tahunan. Di sisi lain, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa tanpa dukungan nyata dari kekuatan global, rekonstruksi Gaza akan tetap menjadi janji yang tak terwujud.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *