Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Krisis Gaza dan Diplomasi Indonesia-Prancis



loading…

Eko Ernada, Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember. Foto/Dok.SindoNews

Eko Ernada
Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember

SEJAK awal abad ke-20, Gaza telah menjadi simbol luka sejarah, persinggungan kekuasaan kolonial, benturan ideologi nasionalisme, dan pertarungan hak-hak kemanusiaan yang terus berlangsung. Dari masa Mandat Britania, pembentukan negara Israel, hingga perang-perang Arab-Israel yang berulang, Gaza selalu menjadi episentrum konflik yang tak kunjung selesai.

Derita Gaza bukanlah sekadar statistik kekerasan atau berita headline, melainkan cermin kegagalan komunitas internasional menghadirkan keadilan dan perdamaian yang berkelanjutan. Jika kita melihat dari kacamata filosofis, maka Gaza menjadi metafora bagi dunia yang kehilangan keseimbangan antara kekuasaan dan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Dalam konteks inilah, kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron ke Indonesia bukan hanya peristiwa diplomatik biasa, tetapi momen refleksi penting: bagaimana dua negara dari latar belakang berbeda mencoba menyusun ulang makna tanggung jawab moral dan politik atas penderitaan di Gaza?

Prancis: Diplomasi Besar dalam Bayang-Bayang Sejarah

Prancis memiliki sejarah panjang sebagai kekuatan kolonial di Timur Tengah, khususnya di Suriah dan Lebanon. Memori sejarah ini turut membentuk persepsi dan pendekatan Prancis dalam melihat konflik Palestina-Israel.

Sejak era pasca-Perang Dunia II, Prancis memainkan peran diplomatik yang berusaha menyeimbangkan antara aliansi geopolitik dengan Israel dan dukungan moral pada aspirasi rakyat Palestina.

Dari perspektif behavioral, kebijakan luar negeri Prancis menunjukkan pola “politik dua muka”: di satu sisi aktif mendorong resolusi damai melalui Dewan Keamanan PBB, tetapi di sisi lain tetap menjaga relasi strategis dengan Israel karena faktor ekonomi, pertahanan, dan posisi sebagai sekutu utama Barat.

Pendekatan kebijakan luar negeri Prancis dalam konteks Gaza dapat dibaca sebagai cerminan rasionalitas negara yang berorientasi pada kepentingan nasional, meskipun dikemas dalam retorika idealisme. Ada paradoks yang mencuat di sini: apakah kepentingan nasional itu benar-benar sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang sering digembar-gemborkan Prancis?

Dalam pertemuanya dengan Presiden Prabowo Subianto, suasana penuh simbolisme diplomatik dan ekspektasi tinggi terlihat jelas di Jakarta. Prancis tidak hanya menyuarakan dukungan terhadap penyelenggaraan konferensi perdamaian internasional, tetapi juga menekankan komitmen untuk mendorong solusi dua negara sebagai jalan keluar.

Namun, jika kita mengacu pada pola historis, komitmen Prancis kerap berhenti pada retorika tanpa keberanian mengambil langkah-langkah konkret seperti sanksi tegas atau tekanan diplomatik nyata terhadap Israel.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *