Komunikasi Jaminan Sosial



loading…

Hardy R. Hermawan
Peneliti SigmaPhi Research

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan adanya tiga rumah sakit (RS) di Jawa Tengah dan Sumatera yang memanipulasi klaim layanan BPJS Kesehatan . Menurut KPK, Juli lalu, manajemen tiga RS itu mengajukan klaim fiktif sehingga tagihan yang diminta kepada BPJS Kesehatan jauh lebih besar dari semestinya. Kasus ini menunjukkan betapa pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) masih menghadapi banyak tantangan.

baca juga: BPJS Kesehatan Membuka Mata Indonesia

Di Indonesia, SJSN dijalankan oleh dua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yakni BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek. Keduanya dibentuk berdasarkan UU BPJS Nomor 24/2011. Selain itu, SJSN juga mencakup program-program jaminan sosial bagi ASN dan TNI/Polri, oleh dua BUMN: PT Taspen dan PT Asabri.

Dalam pelaksanaan SJSN, kasus korupsi seperti di tiga RS tadi sudah kerap terjadi. Sebelumnya, Kejaksaan juga sempat mengusut korupsi di BP Jamsostek selama tiga tahun, sebelum penyidikan dihentikan pada Desember 2022. Pada 2024, terjadi dugaan korupsi di PT Taspen senilai Rp1 Triliun. Di PT Asabri, kasus korupsi pada 2012-2019 diduga menyebabkan kerugian Rp22,8 triliun.

Korupsi jelas meningkatkan risiko keberlanjutan SJSN. Padahal, masih banyak persoalan lain dalam pelaksanaan SJSN ini, Bahkan BPJS Kesehatan memiliki risiko keuangan yang berat. Djamhari et al. (2020) menegaskan, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kerap defisit karena pendapatan lebih rendah dari beban pembiayaan kesehatan. Lalu, iuran peserta terlalu kecil, peserta kurang disiplin dalam mengiur, dan kian mahalnya biaya pengobatan. Selain itu tadi, pengelolaan keuangan dinilai kurang akuntabel dan kurang transparan.

BP Jamsostek juga menghadapi tantangan besar. Akhir 2023, peserta BP Jamsostek tercatat 41,5 juta. Sementara BPS menyatakan, jumlah penduduk bekerja, pada Februari 2024, mencapai 142,18 juta. Jadi BP Jamsostek baru mencakup 29,19% pekerja. Peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) hanya 9% pekerja informal. Ketimpangan ini dapat memicu kecemburuan dan gejolak sosial jika tekanan ekonomi meningkat.

Selain itu, sinkronisasi data BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek belum tercapai. Apalagi dengan Taspen dan Asabri. Padahal, sinkronisasi bisa memberikan keuntungan berupa perlindungan seluruh anggota keluarga peserta. Sinergi pendataan juga dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan jaminan sosial dan kinerja keuangan. Fenomena demografis juga menjadi sebuah risiko. Arifianto (2004) menyatakan, SJSN cenderung abai pada masalah penuaan. Pada 2050, populasi usia di atas 55 tahun akan mencapai 30%. Kebutuhan belanja kesehatan mereka kian meningkat tapi mereka tak lagi bisa mengiur.

SJSN tak boleh gagal karena keberadaannya sangat penting untuk menyejahterakan rakyat. SJSN adalah amanat konstitusi. Agar SJSN dapat lebih efektif, efisien, dan berkelanjutan, diperlukan penyempurnaan prinsip dan teknis SJSN. Dibutuhkan pula perbaikan regulasi yang bersifat holistik dan komprehensif di antara semua penyelenggaranya. SJSN harus mampu menyinkronisasikan penyelenggaraan pelbagai bentuk jaminan sosial oleh semua penyelenggaranya.

baca juga: Pemerintah Diminta Perhatikan BPJS Kesehatan, Ivanhoe: Jangan Diskriminatif



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *