Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Ketika Siswa Nakal Masuk Barak



loading…

Sri Lestari Yuniarti, Widya Prada Ahli Muda di Ditjen GTK Kemendikdasmen. Foto/Dok Pribadi.

Sri Lestari Yuniarti

Widya Prada Ahli Muda di Ditjen GTK Kemendikdasmen

Siswa nakal dikirim ke barak militer. Ide Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tersebut ramai diberitakan belakangan ini. Gagasan tersebut kemudian diformulasi menjadi kebijakan, dan sudah diterapkan mulai bulan Mei ini.

Nakal yang disebutkan Gubernur Jawa Barat tersebut merujuk pada perilaku siswa yang melanggar norma agama, sosial, dan pendidikan. Tidak patuh pada orang tua, sering melanggar peraturan sekolah, terlibat tawuran, dan bentuk kekerasan lainnya adalah contoh penyebabnya.

Angka kekerasan di kalangan siswa remaja memang tidak pernah surut. Tindak kekerasan yang dilakukan pun makin sadistik. Tidak lagi hanya melukai, berita terenggutnya nyawa ulah anak dan remaja juga meningkat.

Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) yang dipimpin Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA, 2024) menyebutkan sebanyak 11,5 juta atau 50,78% anak usia 13-17 tahun, pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya.

Pada pengalaman yang lebih baru, yaitu dalam 12 bulan terakhir, diperkirakan sebanyak 7,6 juta anak usia 13-17 tahun atau 33,64% mengalami salah satu bentuk kekerasan atau lebih. Meski demikian, diduga angka tersebut bisa saja lebih besar, mengingat secara faktual, remaja enggan melaporkan peristiwa kekerasan yang dialaminya.

Terpantik karena fenomena yang memprihatinkan tersebut, Dedi Mulyadi meluncurkan gebrakan. Banyak pihak telah berkomentar atas gebrakan tersebut. Namun, bagaimana sebaiknya penanganan problem siswa nakal?

Betulkah Masa Remaja Masa Krisis?

Badan kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) mengatakan remaja merupakan masyarakat yang berada di rentang usia 10 sampai 19 tahun. Santrock mendefinisikan masa remaja sebagai masa peralihan dari masa anak–anak menuju ke arah dewasa, yang ditandai dengan perubahan fisik maupun emosi. Stanley Hall menggambarkannya masa yang penuh dengan konflik dan ketegangan.

Pada dasarnya, setiap fase perkembangan memiliki pokok masalahnya masing-masing. Namun, ketika remaja dihadapkan pada permasalahan, ada kecenderungan akan kesulitan untuk mengatasinya sendiri.

Hal ini dikarenakan mereka yang tengah berupaya menemukan identitas pribadi mereka, mencari siapa diri mereka, tetapi di sisi lain ada kecenderungan juga mereka ingin dilihat oleh dunia.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *