Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Kasus Suap Rp60 Miliar ke Ketua PN Jaksel Dinilai Bentuk Perampokan Keadilan



loading…

Kasus dugaan suap sebesar Rp60 miliar Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta terkait vonis lepas atau onslag perkara Pemberian Fasilitas Ekspor Crude Palm Oil dinilai bentuk perampokan keadilan. Foto/PN Jaksel

JAKARTA – Kasus dugaan suap sebesar Rp60 miliar Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) Muhammad Arif Nuryanta (MAN) terkait vonis lepas atau onslag perkara Pemberian Fasilitas Ekspor Crude Palm Oil ( CPO ) atau dikenal korupsi minyak goreng dinilai bentuk perampokan keadilan. Vonis bebas tiga korporasi, PT Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group merupakan tindakan yang menghancurkan fondasi negara hukum.

Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho menilai keterlibatan hakim dalam pengaturan putusan demi kepentingan korporasi adalah bentuk paling brutal dari perampokan keadilan. “Kalau hakim bisa dibeli oleh korporasi, apa lagi yang tersisa dari negara hukum kita?” tegas Hardjuno, Senin (14/4/2025).

Menurut Hardjuno, suap oleh korporasi jauh lebih berbahaya daripada korupsi birokrasi biasa. Bila korupsi birokrasi merampok anggaran, maka suap korporasi merampok sistem. “Ini beda kelas. Korupsi birokrasi itu mencuri dana, tapi suap korporasi membajak hukum demi melanggengkan kekuasaan ekonomi. Mereka tidak cuma menghindari hukuman, tetapi mereka membeli keadilan dan mengatur arah negara sesuai kepentingan mereka,” ungkapnya.

Kandidat Doktor Bidang Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga (Unair) ini menilai, perkara ini menunjukkan bahwa persoalan hukum di Indonesia bukan hanya soal integritas personal, tapi sudah sistemik. “Ketika korporasi besar bisa membeli putusan, maka rakyat kecil tak punya harapan di hadapan hukum,” katanya.

Karena itu, tokoh pegiat antikorupsi ini juga mendesak agar pembenahan besar-besaran dilakukan di tubuh Mahkamah Agung dan sistem pengawasan hakim. Salah satu gagasannya adalah pembentukan lembaga pengawasan independen yang bisa mengaudit kekayaan, gaya hidup, dan jaringan relasi hakim.

“Kalau ada Rp60 Miliar yang mengalir ke ruang sidang, berarti ada sistem yang sudah bobrok sejak lama dan dibiarkan. Kita perlu audit total—bukan hanya perkara, tapi siapa saja yang bermain di balik layar,” ujarnya.

Lebih lanjut, Hardjuno kembali menekankan pentingnya pengesahan dan penerapan Undang-Undang (UU) Perampasan Aset sebagai instrumen utama penindakan dan pencegahan. Menurutnya, pelaku suap seperti ini tidak cukup hanya dihukum penjara.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *