Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Internalisasi Sumpah Pemuda di Era Disrupsi Informasi



loading…

Pengamat media sosial, Enda Nasution. FOTO/IST

JAKARTA – Tantangan pemuda di Abad XXI bukan lagi terkait kolonialisme, melainkan melibatkan isu-isu global yang jauh lebih kompleks. Salah satu tantangan utama adalah infiltrasi budaya asing dan berkembangnya ideologi ekstrem berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Pemuda semakin rentan terpapar gagasan-gagasan ekstrem melalui internet dan media sosial, yang sering menjadi sarana bagi kelompok radikal untuk merekrut anggota baru dan menyebarkan propaganda.

Pengamat media sosial, Enda Nasution mengatakan fenomena ini diperparah oleh arus informasi yang begitu deras membuat generasi muda tidak memiliki kemampuan kritis untuk memilah informasi yang benar. Keterbatasan literasi digital menjadikan generasi muda lebih mudah percaya pada informasi palsu, teori konspirasi, atau narasi ekstremis. Hal ini tentunya dapat membuka peluang masuknya ideologi dan budaya luar yang mengancam eksistensi budaya dan kearifan lokal bangsa.

“Ide-ide ekstremis, radikal, konspirasi teori, cocoklogi, hoaks, dapat meracuni pola pikir seseorang, Kalau kita tidak punya disiplin untuk mengkonsumsi informasi yang baik, akan menimbulkan persoalan,” kata Enda Nasution dikutip, Sabtu (1/11/2024).

Enda mengatakan minimnya keahlian dalam memilah informasi tidak hanya mengancam identitas budaya bangsa, tetapi juga dapat memicu krisis jati diri. Seseorang yang terlalu banyak menelan informasi tanpa diselaraskan dengan fokus pengembangan diri akan menyebabkan munculnya kemalasan, atau memantik berbagai persoalan kesehatan mental.

“Anxiety, kegelisahan, depresi, penyakit mental bermunculan yang diakibatkan terlalu banyaknya informasi yang diterima,” ungkap Enda.

Enda menganalogikan tantangan anak muda masa kini laiknya dihadapkan pada meja makan. Derasnya arus informasi seperti banyak makanan yang disajikan. Apabila seseorang tidak dapat menahan hasratnya, ia akan memakan semua makanan yang tersaji. Jika hal ini dilakukan terus menerus, maka akan memunculkan berbagai masalah kedepannya, misalnya masalah keracunan, pencernaan, obesitas, dan lainnya. Demikian pula dengan arus informasi, terlalu banyak mengonsumsi informasi tanpa seleksi dapat menyebabkan pola pikir yang tidak sehat.

“Bagaimana caranya kita bisa menyaring dan mengkonsumsi informasi yang sehat yang sesuai dengan porsinya,” ucap Enda.

“Setidaknya kita bisa melakukan re-check, dan tidak menutup perspektif atau hanya percaya dalam satu sumber saja,” katanya.

Oleh karena itu, sosok yang dikenal sebagai Bapak Blogger Indonesia ini menyatakan pentingnya memiliki keahlian digital bagi para pemuda dalam mencerna informasi. Keseimbangan antara konsumsi informasi dan fokus pengembangan diri menjadi kunci bagi generasi muda untuk bertahan dan tumbuh di era disrupsi teknologi yang serba cepat. Dengan kemampuan digital yang baik, Enda menambahkan, dapat menginisiasi atau membangun kolaborasi antar pemuda untuk menyelesaikan permasalahan anak bangsa.

“Berkolaborasi, bergerak bersama dengan lebih cepat, dan bisa lebih luas, dengan adanya perangkat digital,” kata Enda.

Enda berharap dengan momentum Sumpah Pemuda yang jatuh pada 28 Oktober lalu, semangatnya dapat diinternalisasi oleh para pemuda untuk menghadapi tantangan zaman dan bahaya ideologi luar yang mampu menggerus nilai nilai persatuan bangsa.

(abd)



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *