loading…
Anggota Komisi III DPR Fraksi PDI Perjuangan I Wayan Sudirta mempertanyakan akuntabilitas penegakan hukum oleh penyidik kepolisian Polda Jawa Barat. Foto/istimewa
Dalam putusannya, PN Bandung mengabulkan permohonan praperadilan Nomor 10/Pid.Pra/2024.PN Bandung terhadap penetapan tersangka atas nama Pegi Setiawan oleh Polda Jabar terkait kasus pembunuhan terhadap Vina dan Eky di Cirebon yang terjadi pada 2016.
Dalam sidang tersebut, Hakim Eman Sulaeman sebagai hakim tunggal menilai tidak ditemukan bukti Pegi pernah dilakukan pemeriksaan sebagai calon tersangka oleh Polda Jabar sehingga penetapan tersangkanya tidak sah atau batal secara hukum.
“Persoalan ini sebenarnya telah menjadi perbincangan di masyarakat, mengingat simpang siur informasi yang didapat, terutama dari penasihat hukum Pegi yang mengatakan kliennya bukan pelaku yang dimaksud. Bahkan diketahui dari jejak fisik dan digitalnya bahwa Pegi pada saat tindak pidana terjadi, berada di Bandung bukan di Cirebon,” ujar Wayan Sudirta.
Menurut Wayan Sudirta, putusan praperadilan ini tentu berimplikasi pada beberapa hal yang terkait dengan pengungkapan kasus Vina dan Eky dan mengindikasikan pada beberapa pandangan analitis terkait dengan sistem penegakan hukum.
Pertama, terkait dengan kredibilitas penegakan hukum yang dilakukan oleh Polda Jabar. Dalam hal ini, penetapan tersangka yang dievaluasi berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat dipertanyakan. “Kita tentu dapat melihat putusan ini merupakan hal yang wajar, namun juga dapat mempertanyakan akuntabilitas proses penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik Polda Jabar,” ujar Wayan Sudirta.
Kedua, masyarakat kini mempertanyakan lebih lanjut mengenai beberapa alat bukti yang digunakan oleh Polda Jabar dalam menetapkan status tersangka Pegi Setiawan yang selalu mengaku tidak kenal dan bukan pembunuhnya. Selain saksi, Polda menggunakan keterangan dan bukti bahwa Pegi mengganti identitas dan kabur dengan mengontrak sebuah rumah di Bandung.
“Dalam hal ini, masyarakat mempertanyakan kebenaran dari alat bukti yang digunakan oleh Polda Jabar dalam mengidentifikasi pelaku,” ujarnya.
Ketiga, dalam keterangan dan sumber informasi yang didapat, salah satu alat bukti yang dipergunakan oleh penyidik Polda Jabar merupakan hasil dari kesaksian salah seorang pelaku yang menjadi saksi kunci (Aep). Jika penetapan ini salah, hal ini tentu berdampak secara hukum terhadap kesaksiannya.
”Publik kemudian bertanya juga apakah kesaksian Aep tersebut dapat dipertanyakan akuntabilitasnya, apakah memang sebuah kecerobohan atau juga terdapat unsur rekayasa atau paksaan dengan pengaruh dari pihak lain,” katanya.