Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Empat Pulau Adalah Wilayah Aceh!



loading…

Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (IMAPA) Jakarta mendesak keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang tertuang dalam SK No. 050-145/2022 dicabut. Foto/istimewa

JAKARTA – Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (IMAPA) Jakarta menyatakan sikap tegas atas keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang tertuang dalam SK No. 050-145/2022, yang menetapkan empat pulau—Panjang, Lipan, Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil—sebagai wilayah administratif Sumatera Utara.

IMAPA menilai keputusan ini sarat kekeliruan teknis, mengabaikan fakta historis dan sosial masyarakat Aceh, serta melecehkan martabat otonomi daerah yang telah dijamin oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Sejak lama, keempat pulau tersebut digunakan oleh masyarakat Aceh Singkil sebagai bagian dari ruang hidup, wilayah tangkapan nelayan, dan titik strategis dalam pengelolaan wilayah pesisir.

Fakta ini dibuktikan melalui eksistensi musala, makam tua, serta pembangunan fasilitas publik oleh Pemerintah Aceh di Pulau Panjang. Penetapan sepihak oleh Kemendagri tanpa melibatkan partisipasi substantif Pemerintah Aceh merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip partisipatif dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Baca juga: 4 Pulau di Aceh Jadi Wilayah Sumut, Mendagri: Kita Terbuka untuk Dievaluasi

Selain itu, terdapat inkonsistensi data dan dugaan kekeliruan koordinat dalam verifikasi yang dilakukan Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi pada 2008. Penetapan wilayah administratif yang bersifat strategis semestinya didasarkan pada pendekatan geospasial yang transparan, akuntabel, dan dapat diuji ulang secara ilmiah. Dalam hal ini, keputusan yang tidak memperhatikan batas adat dan fakta sosial hanya akan memperbesar potensi konflik horizontal di antara masyarakat nelayan Aceh dan Sumatera Utara.

IMAPA Jakarta juga menyoroti lemahnya peran Kemendagri dalam membangun komunikasi multilateral yang sehat antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Sumatera Utara. Hingga saat ini, tidak ada ruang mediasi yang cukup inklusif untuk mendengarkan suara masyarakat Aceh yang terdampak langsung oleh keputusan tersebut. Padahal, sebagai lembaga tinggi negara, Mendagri memiliki kewajiban untuk memastikan keadilan administratif yang menghormati sejarah dan identitas lokal.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *