Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

DPR Bisa Copot Hakim MK dan MA Memicu Politisasi Hukum



loading…

DPR bisa mencopot Hakim MK dan Hakim MA dapat memicu politisasi hukum. Kewenangan baru DPR ini tertuang pada revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib). Foto: Dok SINDOnews

JAKARTA – DPR bisa mencopot Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) dapat memicu politisasi hukum. Kewenangan baru DPR ini tertuang pada revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib).

Revisi Tatib membuat DPR mempunyai kewenangan mengevaluasi pejabat negara yang dipilih melalui proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR. Tak hanya hakim, Panglima TNI, Kapolri, dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun bisa dicopot oleh DPR.

“Kalau misal katakanlah hakim-hakim dengan mudah bisa dievaluasi, lalu diangkat, dan diberhentikan oleh DPR, maka akan muncul politisasi hukum, politisasi pengadilan,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan, Minggu (9/2/2025).

“Karena menganggap mereka yang milih, lalu bisa memberhentikan, mengevaluasi kapan saja hakim itu. Potensi untuk terjadi politisasi pengadilan menjadi sangat besar, penegakan hukum akan dipolitisasi sangat besar,” tambahnya.

Dia menilai adanya politisasi hukum bakal menggerus kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan upaya pemberantasan korupsi. Jika hal tersebut terjadi, maka tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan juga ikut tergerus.

“Kalau penegakan hukum menjadi rendah, tingkat keyakinan masyarakat, tingkat kepercayaan masyarakat atau dukungan masyarakat akan rendah, maka mau tidak mau dapat menurunkan tingkat evaluasi positif masyarakat kepada pemerintah,” ungkap Djayadi.

Tingkat dukungan masyarakat yang rendah ini otomatis mengganggu legitimasi rakyat terhadap pemerintahan. Akibatnya tingkat kepatuhan warga negara menjadi rendah.

Karena itu, dia meminta DPR fokus terhadap tugas dan fungsi pokoknya sebagai lembaga legislatif. “Jadi isu ini bisa ke mana-mana. Karena itu sebaiknya DPR balik lagi ke tupoksinya yang pokok yaitu sebagai lembaga legislatif tanpa mencampuri urusan-urusan seperti yang terkait langsung lembaga kehakiman dan lembaga yudikatif,” ujarnya.

(jon)



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *