Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Diskusi Antariman Mestinya Jadi Ruang Terbuka Kedepankan Toleransi



loading…

Direktur Center for Inter-Religious Studies and Traditions (CFIRST) Arif Mirdjaja. Foto/Istimewa

JAKARTA – Direktur Center for Inter-Religious Studies and Traditions (CFIRST) Arif Mirdjaja mengingatkan kepolisian bahwa pasal penistaan agama telah dihapus dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Meskipun aturan tersebut belum sepenuhnya berlaku efektif.

Menurutnya, kendati KUHP baru ini masih dalam tahap transisi, semangatnya sudah seharusnya diimplementasikan oleh institusi penegak hukum untuk mencegah terjadinya kriminalisasi terhadap kelompok-kelompok minoritas yang dianggap menistakan agama.

Langkah ini, menurut Arif, adalah bentuk komitmen terhadap perlindungan hak asasi manusia yang sudah diamanatkan dalam konstitusi. Dia berpendapat bahwa interaksi dan diskusi antariman semestinya menjadi ruang terbuka untuk mengedepankan toleransi, bukan untuk dipidana.

“Diskusi yang sehat antarkeyakinan tidak seharusnya dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal lama yang sudah tidak relevan lagi,” ujarnya, Sabtu (2/11/2024).

Arif menambahkan, dalam masyarakat plural, diskusi agama adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang dilindungi dan harus dihormati selama tidak mengandung unsur kebencian atau pemaksaan. Prinsip ini penting untuk membangun harmoni dalam masyarakat yang memiliki keragaman agama seperti Indonesia.

Mantan Aktivis 98 ini menekankan bahwa dalam menerapkan KUHP baru, kepolisian tidak boleh terpengaruh oleh tekanan dari kelompok mayoritas atau kepentingan kelompok tertentu. “Interpretasi hukum tidak boleh dibentuk atas dasar desakan kelompok tertentu karena itu berpotensi membuat kepolisian dianggap tidak netral,” jelasnya.

Sebagai lembaga negara, kepolisian memiliki kewajiban untuk menjaga netralitas dan melindungi seluruh warga negara tanpa memandang latar belakang keyakinan. Sikap netral ini disebutnya kunci untuk memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.

Selain itu, Arif mengingatkan bahwa kebebasan beragama dan kebebasan berbicara adalah hak asasi manusia yang diakui oleh konstitusi sebagai hak non-derogable atau hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun. “Artinya, hak-hak ini bersifat mendasar dan harus tetap dihormati, baik dalam situasi normal maupun dalam keadaan krisis,” ungkapnya.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *