Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahunan Puisi Esai



loading…

Denny JA menghibahkan dana abadi demi kelangsungan Festival Tahunan Puisi Esai. Dia terinspirasi oleh tokoh-tokoh besar dalam sejarah yang mendirikan lembaga budaya dengan dana abadi. Foto: Ist

JAKARTA – Seni bukan hanya cermin realitas, tetapi juga cahaya yang mengubahnya. Denny JA mengungkapkan kutipan tersebut sebagai salah satu alasan menghibahkan dana abadi demi kelangsungan Festival Tahunan Puisi Esai.

Dengan dana abadi ini, Festival Puisi Esai diharapkan dapat berlangsung hingga 50 tahun ke depan, bahkan lebih. Menurut Denny, sastra merupakan sebuah paradoks.

“Para pembaca sastra cenderung lebih memahami penderitaan orang lain, lebih peka terhadap keragaman identitas, dan lebih peduli terhadap ketidakadilan,” ujar Denny JA, Kamis (21/11/2024).

Namun, di sisi lain komunitas sastra jangka panjang tidak dapat bertahan hanya dengan mengandalkan hukum pasar. Seni membutuhkan dukungan dan sastra membutuhkan uluran tangan untuk memastikan bahwa panggungnya tetap ada.

Denny terinspirasi oleh tokoh-tokoh besar dalam sejarah yang mendirikan lembaga budaya dengan dana abadi. Andrew Carnegie, misalnya, mendirikan ribuan perpustakaan untuk mencerdaskan masyarakat.

Alfred Nobel mendanai penghargaan sastra dan ilmiah dengan dana abadinya, memberikan pengakuan tertinggi bagi para penulis dan kreator dunia.

Ruth Lilly, melalui The Poetry Foundation, menyelamatkan puisi dengan dana besar, memastikan keberlanjutannya dalam sejarah sastra.

Denny meyakini bahwa puisi esai sebagai genre yang menggabungkan puisi dengan fakta sosial perlu terus dilestarikan. Puisi esai menyampaikan kisah nyata tentang isu-isu penting seperti hak asasi manusia, ketidakadilan, marginalisasi, dan identitas sosial, dengan catatan kaki yang menghubungkan estetika puisi dengan kenyataan sosial.

“Festival Puisi Esai Jakarta bukan hanya sebagai panggung seni, tetapi juga sebagai ruang refleksi bagi masyarakat, mempertemukan penulis untuk berbagi pengalaman dan menginspirasi satu sama lain,” tuturnya.

Denny JA menuturkan setiap festival memotret isu-isu penting yang dihadapi masyarakat dan mengedukasi publik tentang persoalan sosial melalui seni. Ketika isu-isu tersebut disampaikan dengan keindahan puisi, masyarakat lebih mudah memahami dan tergerak untuk bertindak.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *