Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Demokrasi Daerah di Persimpangan Pemilu Terpisah



loading…

Ida Farida, Komisioner KPU Kalimantan Timur 2014–2019, Dosen UINSI, dan Ketua Muslimat NU Samarinda. Foto: Ist

Ida Farida
Komisioner KPU Kalimantan Timur 2014–2019, Dosen UINSI, dan Ketua Muslimat NU Samarinda

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 12/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dari pemilu daerah menempatkan demokrasi lokal pada persimpangan jalan yang krusial. Di satu sisi, pemisahan ini diklaim akan menyederhanakan beban teknis pemilu dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan. Namun di sisi lain, kebijakan tersebut justru menimbulkan potensi disorientasi politik di tingkat daerah—sebuah risiko yang tidak bisa dianggap remeh dalam ikhtiar memperkuat demokrasi substansial di Indonesia.

Sebagai mantan komisioner KPU di daerah, saya memandang bahwa pemisahan pemilu bukanlah solusi, melainkan langkah mundur yang justru berpotensi memperbesar beban demokrasi elektoral kita. Dalih efisiensi dan penyederhanaan justru akan melahirkan kompleksitas baru dalam bentuk pembengkakan anggaran, fragmentasi partisipasi, dan penguatan kontrol oligarki politik, terutama di tingkat lokal.

Apakah pemisahan ini benar-benar solusi? Untuk memahami kontroversi ini secara utuh, sejarah bisa memberi jawaban. Sejak pemilu pertama tahun 1955, sistem kepemiluan Indonesia mengalami transformasi yang panjang. Pemilu pasca-Orde Baru dibentuk dalam semangat desentralisasi dan demokratisasi. Namun sistem multipartai, desentralisasi yang belum matang, dan pemilu yang berlangsung nyaris setiap tahun pada periode 2005–2015 menciptakan kelelahan politik dan tingginya biaya pemilu.

Atas dasar itu, muncul dorongan untuk menyatukan pemilu nasional dan daerah dalam satu momentum. Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 menjadi tonggak penting yang mendorong pemilu serentak. Tujuannya bukan sekadar menyederhanakan, tetapi memperkuat integrasi sistem presidensial dan mengefisienkan artikulasi kehendak rakyat. Pemilu serentak memudahkan rakyat dalam mengevaluasi dan memilih secara utuh: dari pusat hingga daerah, dari legislatif hingga eksekutif.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *