Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Belajar Hidup Berbangsa dari Pengajian dan Pedagang Asongan



loading…

Muhammad Irfanudin Kuniawan – Dosen Universitas Darunnajah. Foto/Dok pribadi

Muhammad Irfanudin Kuniawan
Dosen Universitas Darunnajah

Bisakah sebuah bangsa besar menemukan harmoni di tengah keramaian dan kebisingan? Pertanyaan ini mungkin terasa retoris, tetapi sangat relevan bagi Indonesia, negara dengan 273 juta penduduk yang beragam latar belakang.

Di tengah perbedaan, sering kali muncul gesekan. Namun, seperti sebuah pengajian akbar yang ramai dengan suara pedagang asongan, apakah kita bisa belajar melihat kebisingan itu sebagai bagian dari harmoni?

Bayangkan anda hadir di sebuah pengajian siang bolong, di bawah terik matahari. Di lapangan kecil yang biasanya digunakan untuk bermain sepak bola, bersama ratusan jamaah duduk lesehan di atas terpal, mendengarkan ceramah tentang rasa syukur dan kemerdekaan. Di tengah suasana yang khidmat, suara sang penceramah beradu dengan teriakan pedagang: “Es teh! Es teh dingin!”

Suasana menjadi semakin riuh dengan bunyi terompet pedagang pentol, diiringi mainan anak-anak yang berputar, dan sesekali teriakan bocah yang memecah keheningan. Panitia? Cuek. Pedagang? Tetap semangat mencari nafkah. Sang penceramah? Berusaha menyesuaikan nada dengan harmoni yang tidak terduga.

Bagi sebagian orang, ini mungkin terlihat sebagai kekacauan. Tetapi, jika dilihat lebih dalam, ini adalah wajah Indonesia: kompleks, berwarna, dan penuh dinamika. Pengajian bukan sekadar forum keagamaan; ia adalah cermin kehidupan masyarakat yang mencoba berdampingan di tengah perbedaan.

Peristiwa di atas mengingatkan kita pada tantangan dalam kehidupan bernegara. Seperti suara pedagang yang bersahut-sahutan di tengah ceramah, suara rakyat sering kali bersinggungan dengan kebijakan pemerintah.

Pedagang es teh yang berjuang mencari nafkah di pengajian adalah representasi dari masyarakat kecil yang mencoba bertahan hidup di tengah sistem ekonomi yang sering kali tidak berpihak pada mereka.

Di sisi lain, pemerintah seperti penceramah di pengajian berusaha menyampaikan pesan, menerapkan kebijakan, dan membangun fondasi bangsa. Namun, seperti dalam pengajian itu, jika tidak ada koordinasi antara “penceramah” dan “pedagang,” yang terjadi adalah kebisingan yang tidak terarah.

Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), Indonesia memiliki lebih dari 64 juta UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *