Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Antara Hukum dan Kekuasaan



loading…

Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa

Romli Atmasasmita

DALAM kehidupan masyarakat pada umumnya, hukum dan kekuasaan merupakan bagian tidak terpisahkan dari sistem birokrasi pemerintahan, selalu berkelindan dan melekat satu sama lain. Bahkan dapat dikatakan, tidak ada hukum tanpa kekuasaan, dan tidak ada kekuasaan tanpa hukum.

Di dalam doktrin hukum, hal ini telah dikenal sejak lama dengan adagium: hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, akan tetapi kekuasaan tanpa hukum adalah anarki. Begitu pula di dalam kehidupan masyarakat di negara yang menempatkan hukum satu-satunya rujukan utama bertindak di dalam negara hukum. Namun demikian, realita kehidupan hukum baik dalam proses pembentukannya maupun di dalam proses penegakan hukum, kedua pilar negara hukum tersebut tampak nyata dan seketika dan dapat dirasakan ketika implementasi keduanya berjalan berlawanan arah. Dalam praktik sering terjadi, anarki, ketika kekuasaan dijalankan tanpa landasan hukum atau dikenal dengan penyalahgunaan wewenang atau dijalankan tetapi menyimpang atau bertentangan dengan maksud dan tujuan awal dari pembentukan hukum/undang-undangnya.

Beberapa sebutan sinisme masyarakat seperti kriminalisasi hukum atau politisasi hukum menggambarkan keadaan sedemikian. Contoh kasus penetapan Firli Bahuri sebagai tersangka disusul dengan pemberhentian dari jabatan ketua KPK; pemberhentian Airlangga Hartarto dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar dibayangi oleh pemeriksaan dirinya terkait kasus impor dan ekspor dan lainnya. Praktik kekuasaan dengan menggunakan hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan atau dikenal dengan “law as a tool of the powerfull” atau “as a means to an ends; tidak lagi dipandang sebagai “law is an ends in its self”.

Peristiwa tersebut disebabkan hukum hanya dipandang sebagai norma yang statis dan cermin dari perilaku aparatur hukum; seharusnya hukum dipandang sebagai nilai (values) dan nilai hukum Indonesia terdapat pada masing-masing sila Pancasila sebagai satu kesatuan idiologi dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Ketiadaan pemahaman hukum sebagai nilai mengakibatkan praktik peradilan pidana terasa hambar atau kering tanpa nyawa jika hanya dipandang sebagai norma statis dan hanya sikap/perilaku aparatur hukum.

Bahkan dalam beberapa praktik peradilan pidana khusus tindak pidana korupsi, ketimpangan pandangan tentang hukum tersebut telah terjadi secara masif yang telah mengakibatkan setiap orang yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi dipastikan sebagai calon terpidana korupsi, penegakan hukum hanya mengandalkan pada kecerdasan intelektual, tetapi miskin kecerdasan nurani dan kecerdasan spriritual. Di samping itu, pengaruh warisan sistem hukum kolonial Belanda tampak dan terasa, yakni hukum pidana sejak awal pembentukannya bertujuan pembalasan atas kejahatan dengan alasan untuk melindungi masyarakat.

Asas umum hukum pidana warisan masa lalu, tiada pidana tanpa kesalahan; geen straf zonder schuld-tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP; menecerminkan pemikiran teori pembalasan pidana, dan karena sebab itulah penegakan hukum pidana selalu dicari kesalahannya untuk dapat dipidana. Adagium hukum pidana di Indonesia telah berubah sejak diberlakukan UU Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tercantum di dalam Pasal 183 KUHAP yang diawali dengan kalimat pembuka, Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman,….

Kekeliruan cara pandang tentang hukum sebagaimana diuraikan di atas masih melekat sampai saat ini pada aparatur penegak hukum pada umumnya termasuk hakim, dan dampak terparah daripadanya, jika hakim sebagai pemutus dan pengadilan sebagai tempat satu-satunya dan terakhir mencari dan menemukan keadilan, juga telah terkontaminasi dengan cara pandang hukum yang keliru, bahkan karena intervensi kepentingan politik/kekuasaan. Akibat lebih jauh yang kita saksikan adalah di lembaga pemasyarakatan telah mengalami kepadatan hunian atau overkapasitas mencapai 200 persen.

Dalam konteks masalah di atas, yang kita rasakan saat ini adalah khususnya, dalam pemberantasan korupsi yang telah menjadi salah satu program pemerintah Prabowo Subianto. Kekeliruan cara pandang hukum dalam konteks kekuasaan yang telah terjadi setidaknya dapat dicegah dan diantisipasi dengan program kesadaran hukum terhadap aparatur hukum, juga terhadap pemegang kekuasaan termasuk anggota badan legislatif seketika setelah pelantikannya. Adapun terhadap khususnya kepada para hakim perlu menjadi program rutin tahunan dengan meminta ahli-ahli hukum terkemuka.

(zik)



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *