Akuisisi PPA-FREMM Italia, Sekadar Transaksional?



loading…

INDONESIA segera mengeksekusi pembelian kapal fregat FREMM (frigate European multi-mission) kelas Bergamini? Kabar inilah yang belakangan simpang-siur di media sosial. Disebut Komisi I DPR telah menyetujui akuisisi kapal perang asal Italia tersebut. Namun sejauh ini Kementerian Pertahanan (Kemhan) belum menyampaikan pengumuman.

baca juga: Tingkatkan Nilai Produk Kakao, Kemendag Jajaki Kerja Sama dengan Italia

Kabar baik perkembangan rencana pembelian heavy fregat tersebut memang sudah dua tahun lebih ditunggu publik Tanah Air. Seperti diketahui, pada 2021 lalu Menhan Prabowo Subianto menandatangani kontrak pembelian 6 FREMM dan 2 fregat bekas kelas Maestrale.

Fregat FREMM sangat diidamkan karena bisa menghadirkan deterrent effect. Betapa tidak, kapal yang memiliki panjang 140 meter dan lebar 20 meter dilengkapi serangkaian senjata canggih nan gahar, seperti sistem rudal pertahanan udara (hanud) SAAM Aster 15, rudal antikapal Teseo Mk2 MBDA, dua sistem peluncuran vertikal DCNS Sylver A43, sistem senjata antikapal selam Milas buatan MBDA yang bisa membawa dan melepaskan torpedo ringan seperti MU-90, dan 1 × OTO Melara 127/64 mm Vulcano.

Selain itu, kapal juga didukung suite sonar kapal mencakup Sonar Thales Type 4110 yang dipasang di lambung kapal, dan menggunakan panduan inersia dengan kendali dan berdaya jangkau hingga 55 km. Menilik kapabilitasnya, fregat FREMM akan menjadi terkuat di kawasan ASEAN. Bahkan fregat Amerika Serikat (AS) teranyar, USS Constellation, juga menggunakan fregat yang didesain bareng Italia dengan Prancis tersebut.

Bila benar Indonesia jadi membeli FREMM, maka akan menjadi keputusan ‘membagongkan’ dan mengguncang kawasan. Pasalnya, negeri ini baru saja memborong dua kapal Pattugliatore Polivante d’Altura (PPA) atau Offshore Patrol Vessel (OPV) kelas Paolo Thaon Di Revel yang diproduksi pabrikan sama, Fincantieri S.p.A.

Realitas tersebut mengindikasikan progresivitas sekaligus keandalan marketing Italia menyerebot ketatnya persaingan merebut kue belanja pertahanan, khususnya untuk memenuhi kebutuhan kapal perang TNI Angkatan Laut (AL). Selain Italia, sejumlah negara juga telah menawarkan fregat buatannya, seperti Jepang menawarkan fregat kelas Mogami dan Prancis yang menjagokan fregat kelas Belharra.

Apalagi, proses negosiasi hingga eksekusi berlangsung sangat cepat. Seperti transaksi PPA Thaon Di Revel, proses dimulai dari angkatan laut Italia Marina Militar dengan membawa kapal tersebut mampir di Jakarta dalam rangka kampanye timur jauh pada Mei 2023. Pada Oktober 2023 Indonesia menyatakan ketertarikannya, dan selanjutnya keputusan fix memborong 2 unit diputuskan pada Maret 2024.

Transaksi yang terjadi seolah tanpa diikuti dengan drama negosiasi bertele-tele. Lazimnya, akuisi alutsista seperti kapal perang atau diwarnai tarik-ulur mengenai transfer of technology (ToT) atau offset yang diperoleh Indonesia. Kondisi demikian bisa dibandingkan saat Indonesia membeli fregat kelas Sigma dari Damen Belanda atau fregat Merah Putih dari Babcock Inggris.

Prestasi cemerlang Italia tersebut tentu berkat kemampuannya membaca kebutuhan Indonesia. Di satu sisi negeri ini memang tengah mengonsolidasikan kekuatan merespons dinamika konflik di kawasan Laut China Selatan. Di sisi lain Italia mampu menyediakan produk ready to used dengan kategori seperti dibutuhkan TNI AL. Italia mampu menggaransi secara cepat (rapid acquisition) pengiriman kapal yang dibangun di Galangan Kapal Terpadu di Riva Trigoso-Muggiano milik Fincantieri tersebut karena barangnya sudah diluncurkan tapi belum beroperasi.

Sebagai informasi, Marina Militare memesan tujuh kapal sepanjang 143 meter dan berbobot sekitar 4.900 ton. Dari 7 kapal yang dipesan, 6 di antaranya sudah kelar. Nah, dua kapal terakhir yang sudah diproduksi itulah yang dialihkan untuk Indonesia. Pola yang sama pernah dipraktikkan Italia saat Mesir mengakuisisi dua kapal FREMM.

Selain faktor urgensi, Indonesia tampaknya membutuhkan kapal multiperan. Selain untuk keperluan patroli lepas pantai, kapal tersebut juga bisa difungsikan sebagai fregat. Untuk diketahui, Fincantieri memberikan tiga opsi spesifikasi: light configuration, light+, dan fullcombat. Kabar beredar menyebut Indonesia memilih opsi antara light+ atau full combat.

Bila full combat, maka TNI AL akan memiliki kapal perang yang tidak hanya dilengkapi meriam dengan kaliber sangat besar mengalahkan Bofors 120 mm – yakni Leonardo (Otobreda) 127/63 MM), tapi juga rudal pertahanan udara Aster dan rudal anti-kapal Teseo Otomat ‘EVO’ MK2/E.

Keputusan mendatangkan kapal perang negeri pizza tersebut menunjukkan kecenderungan Menhan Prabowo Subianto dalam mengambil keputusan akuisisi alutsista, yakni alutsista bukan kelas kaleng-kaleng alias terbaik dan termewah. Produk FREMM kelas Bergamini dan PPA kelas Paolo Thaon Di Revel mengingatkan kualitas produk otomotif mewah dunia asal Italia seperti Ferrari dan Lamborgini.

baca juga: 5 Daftar Makanan Khas Natal dari Italia hingga Indonesia

Namun di balik transaksi alutsista kelas berat dari negeri yang pernah dipimpin Benito Mussolini tersebut, tersimpan pertanyaan apakah relasi tersebut terbangun karena sekadar transaksional hubungan bisnis yang mempertemukan supply and demand atau ada nilai idealis yang menyertainya?

Pertanyaan tersebut wajib disampaikan karena transaksi alutsista mempertaruhkan masa depan pertahanan Indonesia. Betapa tidak, sejarah membuktikan transaksi alutsista dengan negara barat selalu rawan embargo. Pengalaman ini pernah dirasakan Indonesia dalam konteks hubungan dengan AS dan Inggris, hingga negeri ini tidak bisa menggunakan alutsista yang sudah dibeli.

Kebijakan Politik Italia

Sebagai salah satu negara penggagas Komunitas Eropa yang kemudian menjadi Uni Eropa (UE), pendiri NATO (north Atlantic treaty organization), anggota OECD (the organization for economic co-operation and development), anggota G-7, G-8, dan G-20, tak ayal Italia merupakan negara terkemuka bukan hanya di benua Eropa tapi juga di dunia.

Uniknya, walaupun menjadi anggota utama geng Barat, pada 23 Maret 2019, Italia juga bergabung dengan proyek raksasa yang diprakarsai China, yaitu Belt and Road Initiatives (BRI). Kesepakatan tersebut diambil saat Perdana Menteri Italia Giussepe Conte menerima kehadiran Presiden China Xi Jinping ke negerinya. Kendati demikian, MoU tidak mengikat kedua negara atau tidak memiliki kekuatan hak dan kewajiban seperti perjanjian lainnya.

Selain menandatangani MoU BRI, Italia-China juga meneken sekitar 10 kesepakatan di sektor pipa energi, baja dan gas yang ditotal bernilai sekitar 5 miliar Euro. Italia dan Negeri Tirai Bambu itu juga bekerja sama dalam bidang lingkungan, energi berkelanjutan, kesehatan, penerbangan teknologi luar angkasa, infrastruktur dan transportasi.

Berdasar sejumlah referensi, langkah kontroversi Italia tersebut memicu reaksi UE dan Amerika Serikat (AS). Presiden Perancis Emmanuel Macaron misalnya, menganggap Italia turut membantu salah satu saingan utama ekonomi Uni Eropa. Selain itu, apa yang dilakukan Italia berpotensi memperbesar keretakan antara Roma dan sekutu-sekutu tradisionalnya.

Adapun AS mengingatkan BRI tidak mungkin membantu Italia dalam sektor ekonomi, namun justri bisa merusak citra Italia sendiri. AS mengaku khawatir BRI akan memberikan China akses menuju Italia, yang merupakan kawasan yang penuh dengan pangkalan-pangkalan NATO. Tak kalah membahayakan, akses tersebut akan meningkatkan pengaruh China di kawasan Mediterania.

baca juga: Ekosistem Kendaraan Listrik Indonesia hingga IKN Ditawarkan ke Italia

Dalam bidang ekonomi, AS juga khawatir BRI akan membantu perusahaan China bisa mengakses ke sektor-sektor utama ekonomi anggota UE, khususnya bidang telekomunikasi. Indikasinya sudah terlihat dengan gagalnya Paman Sam meyakinkan Italia dan sebagian besar mitranya di Eropa untuk melarang perusahaan Huawei Cina memasukkan jaringan 5G dengan alasan akan ditunggangi kepentingan spionase China.

Hingga saat ini, beberapa negara anggota Uni Eropa telah menandatangani perjanjian BRI, yakni Yunani, Hongaria, Polandia, Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Slovenia, Portugal, dan Slovakia. Namun bergabungnya negeri-negeri tersebut tidak begitu mengguncang Benua Biru karena bobot kekuatan ekonomi dan politik mereka tidak sebanding dengan Italia bila menjadi bagian proyek tersebut.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *