Ahok Sebut Anies Pemecah Belah Karena Menyebut Warga Indonesia Etnis Cina Seakan – Akan Adalah Warga Negara Asing

RUANGBIBIR.COM– Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kembali mengungkit luka lama yang disebabkan oleh pernyataan Anies Baswedan. Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut bahkan menyebut Anies bukan negarawan. Sebagaimana diketahui, pidato Anies saat terpilih sebagai Gubernur DKI pada tahun 2017 lalu penuh kotroversi. Hal tersebut lantaran Anies membawa-bawa kata pribumi dalam pidato pertamanya itu. “Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura. Itik telor, ayam singerimi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami,” bunyi pidato Anies Baswedan kala itu.

Untuk diketahui, Anies terpilih sebagai Gubernur DKI dengan irisan isu agama yang menyangkut nama Ahok. Setelah enam tahun berlalu, Ahok ternyata tidak lupa dengan apa yang disampaikan Anies kala itu. Inilah yang membuatnya dengan lantang berani menyebut Anies bukan negarawan.

Sebab menurut Ahok, negarawan yang baik bukanlah mereka yang memecah belah rakyat. “Bagi saya Anies sangat tidak negarawan. Dia menang saya beri ucapan selamat, soalnya kamu menang atas seizin tuhan kok,” kata Ahok. “Tapi yang tidak bisa saya terima, ketika Anda menang, Anda pidato memecah belah bangsa. Bahkan Jakarta sudah kembali ke pangkuan pribumi yang dijajah selama ini, itu teksnya di mana-mana. Itu sangat memecah belah bangsa,” ia menambahkan. Ahok kemudian bertanya kepada pembawa acara, apa yang membuat orang lain bisa mengatakan seseorang sebagai “bukan pribumi”. Padahal secara Undang-Undang, Ahok sendiri adalah pribumi yang juga tumbuh besar di Indonesia. “Saya ini asli Indonesia sesuai Undang-Undang lho. Apa karena saya namanya Ahok? itu yang tidak betul yang Anies lakukan, bagi saya Anies sangat tidak negarawan,” ujar Ahok.

istilah ‘pribumi’ dalam pidato Anies Baswedan memicu kontroversi, Dianggap Rasis Dan SARA Karena Memisah – misahkan Etnis Tionghoa dengan Pribumi Seperti zaman Belanda

Pidato pertama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan setelah pelantikannya memicu percakapan di media sosial terkait keputusannya untuk menggunakan kata ‘pribumi’. Sebagian pengguna media sosial merasa tidak terkejut ketika kata tersebut muncul setelah rangkaian kampanye pilkada DKI Jakarta yang penuh dengan politik identitas.

penggunaan kata ‘pribumi’ tercatat mulai muncul menjelang berlangsungnya acara pesta rakyat setelah pelantikan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno di Istana Negara.

Salah satu cuitan pertama yang muncul adalah foto kemunculan spanduk bertuliskan ‘Pribumi Muslim’ yang diduga dibentangkan di depan Balai Kota pada hari pelantikan pasangan gubernur-wakil gubernur tersebut.

Dalam pidatonya itu, Gubernur Anies mengatakan bahwa, “Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura. Itik telor, ayam singerimi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami.”

Anies mengawali penggunaan kata pribumi tersebut dari konteks kolonialisme, bahwa Jakarta merupakan satu dari sedikit kota di Indonesia yang merasakan kolonialisme dari dekat selama ratusan tahun.

“Di tempat lain mungkin penjajahan terasa jauh tapi di Jakarta bagi orang Jakarta yang namanya kolonialisme itu di depan mata. Dirasakan sehari hari. Karena itu bila kita merdeka maka janji janji itu harus terlunaskan bagi warga Jakarta,” kata Anies dalam pidatonya.

Pada Selasa (17/10), setelah penggunaan kata ‘pribumi’ menjadi perdebatan ramai, Anies menjelaskan bahwa dalam pidatonya itu, istilah tersebut digunakan untuk era kolonialisme.

“Karena di situ saya juga menulisnya era penjajahan dulu,” kata Anies di Balai Kota Jakarta, Jakarta Pusat, Selasa (17/10/2017).

“Kalau kota lain itu tidak melihat Belanda secara dekat. Yang melihat Belanda jarak dekat siapa? Orang Jakarta. Coba kita di pelosok Indonesia, tahu ada Belanda. Tapi nggak lihat di depan mata. Yang lihat di depan mata itu kita di kota Jakarta ini,” tutur Anies. “Pokoknya itu digunakan untuk menjelaskan era kolonial Belanda.”

Namun konteks kolonialisme yang digunakan oleh Anies itu tampaknya ditanggapi berbeda oleh sebagian pengguna media sosial.

Sebagian tetap merasa bahwa penggunaan kata tersebut adalah salah satu contoh penggunaan ‘dog-whistle politics‘, ketika sebuah pesan politik menggunakan bahasa berkode yang tampaknya berarti satu hal bagi satu kelompok masyarakat, namun memiliki makna berbeda dan lebih spesifik pada kelompok tertentu, seperti yang disoroti oleh komedian Ernest Prakasa.

Salah satu cuitan yang paling banyak disebarkan terkait penggunaan kata ‘pribumi’ adalah dari pengguna Muannas Alaidid yang menyebut dirinya ‘advokat Indonesia konsultan & spesialisasi ITE’ di bio akun media sosialnya.

Muannas mengatakan bahwa, “UU No.40 Th.2008 Ttg penghapusan diskriminasi ras & etnis telah meniadakan istilah pribumi/cina yg ada WNI.

Sebagian pengguna media sosial melihat bahwa pernyataan Anies dalam pidatonya tersebut merupakan bagian dari ‘pemenuhan janji kemerdekaan’ untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun hal ini dibantah oleh beberapa sejarawan di media sosial, seperti Bonnie Triyana, pemimpin redaksi majalah Historia.

Dia menyatakan bahwa sejak dari masa kolonial pun, ‘pribumi’ adalah istilah dengan makna rasialistis – tidak hanya terbatas untuk merujuk pada warga keturunan Cina saja.

Sementara beberapa pengguna lain mempertanyakan kenapa penggunaan kata ‘pribumi’ oleh Presiden Joko Widodo tidak mendapat kritikan serupa, sambil menyertakan beberapa screenshot judul-judul berita yang menggunakan kata ‘pribumi’.

Lembaga Bantuan Hukum, LBH, Jakarta sendiri sudah mengecam penggunaan istilah “pribumi” dalam pidato pertama Anies karena dinilai “bertentangan dengan ketentuan hukum dan menyulut sentimen primordial antar kelompok.”

“Pemilihan penggunaan istilah “pribumi” dalam pidato resmi pejabat negara kontraproduktif dengan upaya mendorong semangat toleransi dan keberagaman. Sayangnya, banyak pejabat negara, termasuk Anies Baswedan, masih kerap menggunakan istilah tersebut dalam memberikan pidato atau pernyataan publik melalui media massa,” menurut pernyataan yang mereka keluarkan.

Mereka juga meminta Anies mencabut pernyataan tersebut dan meminta maaf kepada publik.

Meski begitu, seperti halnya apapun di media sosial, selalu ada yang menanggapi suatu percakapan dengan humor, seperti pengguna media sosial ini misalnya, yang lebih terganggu dengan sosok di latar pidato.

Dapatkan berita terbaru dan pilihan berita terupdate setiap harinya, follow Whatsapp Channel Ruangbibir klik disini sekarang juga. Jika Konten Ini Menarik, Silahkan Bagikan dan Forward Artikel ini ke Group atau Sahabat anda.

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *