5 Fakta Fenomena Bediding Juli 2024 yang Bikin Udara di Wilayah Indonesia Jadi Lebih Dingin



loading…

Fenomena bediding terjadi pada Juli 2024. Anda yang bermukim di beberapa wilayah Indonesia terutama bagian selatan khatulistiwa seperti Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, tentu tengah mengalami suhu yang terasa lebih dingin. Foto Ilustrasi/Shutterstock

JAKARTA – Fenomena bediding kembali terjadi pada Juli 2024. Anda yang bermukim di beberapa wilayah Indonesia terutama bagian selatan khatulistiwa seperti Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, tentu tengah mengalami suhu yang terasa lebih dingin terutama pada malam hingga pagi hari.

Padahal, Indonesia di bulan Juli ini tengah memasuki musim kemarau. Namun, mengapa udara justru terasa lebih dingin?

Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), suhu udara dingin merupakan fenomena alami yang biasa terjadi di bulan-bulan puncak musim kemarau, yakni antara Juli hingga September. Kondisi ini biasa disebut dengan fenomena bediding.

Fakta Fenomena Bediding Juli 2024

1. Istilah dari Bahasa Jawa

Bediding adalah kondisi di mana suhu udara terasa lebih dingin dari biasanya, khususnya di wilayah bagian selatan khatulistiwa. Istilah tersebut berasal dari bahasa Jawa, ‘bedhidhing’, yang merujuk pada musim peralihan dari hujan ke kemarau.

2. Pengaruh Angin Monsun Australia

Pada bulan Juli wilayah Australia sedang memasuki musim dingin. Sifat massa udara di Australia di musim tersebut dingin dan kering. Adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di sana, menyebabkan pergerakan massa udara dari benua tersebut menuju Indonesia atau yang dikenal dengan istilah monsun dingin Australia.

Angin monsun Australia yang bertiup menuju wilayah Nusantara melewati perairan Samudera Indonesia yang memiliki suhu permukaan laut yang juga relatif lebih dingin, sehingga mengakibatkan suhu di beberapa wilayah di Indonesia terasa lebih dingin.

3. Siklus yang Terjadi Tiap Tahun

Fenomena bediding terjadi selama musim kemarau ketika angin monsun dari Australia membawa udara kering dan dingin. Fenomena ini terjadi tiap tahun antara bulan Juni hingga September sebagai siklus musiman. Aktivitas angin monsum sendiri akan mencapai puncaknya pada Agustus sehingga di bulan tersebut suhu dingin di Tanah Air akan lebih terasa menggigit.

4. Berkurangnya Curah Hujan

Pada musim kemarau hujan umumnya jarang terjadi. Hal itu dikarenakan tutupan awan berkurang, sehingga panas permukaan bumi akibat radiasi matahari lebih cepat dan lebih banyak yang dilepaskan kembali ke atmosfer berupa radiasi balik gelombang panjang.

Dengan curah hujan yang kurang, maka kelembaban udara juga rendah yang berarti uap air di dekat permukaan bumi menjadi sedikit. Bersamaan dengan kondisi langit yang cenderung bersih dari awan, maka panas radiasi balik gelombang panjang ini langsung dilepaskan ke atmosfer luar, sehingga kemudian membuat udara dekat permukaan terasa lebih dingin, terutama pada malam hingga pagi hari.

5. Kelembaban Udara Rendah

Berkurangnya awan dan hujan pada musim kemarau lazim disertai dengan berkurangnya kandungan uap air di atmosfer. Secara fisis, uap air dan air merupakan zat yang cukup efektif dalam menyimpan energi panas. Sehingga, rendahnya kandungan uap di atmosfer ini menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi ke luar angkasa pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer dan energi yang digunakan untuk meningkatkan suhu atmosfer di atmosfer lapisan dekat permukaan bumi tidak signifikan.

Hal inilah yang menyebabkan suhu udara di Indonesia saat malam hari di musim kemarau relatif lebih rendah dibandingkan saat musim hujan ataupun peralihan. Selain itu, kandungan air di dalam tanah menipis dan uap air di udara juga sangat sedikit jumlahnya. Hal itu dibuktikan dengan rendahnya kelembaban udara.

(tsa)



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *