Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Tarif PPN 12% secara Umum Dibatalkan, Apa Dampaknya?



loading…

Pemerintah membatalkan kenaikan PPN 12% secara umum atau hanya diberlakukan untuk barang mewah. FOTO/dok.SINDOnews

JAKARTA – Pemerintah resmi menaikkan Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) untuk barang mewah dari semula 11% menjadi 12% di 2025. Kenaikan PPN menjadi 12% diharapkan dapat menambah penerimaan negara yang pada akhirnya juga diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Lantas apakah peningkatan tarif PPN benar-benar dapat menambah penerimaan negara dan efektif memajukan ekonomi nasional?

Senior Fellow Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta mengatakan kenaikan tarif PPN sebenarnya sudah diinisiasi pada April 2022, di mana ketika itu tarif PPN naik dari 10% ke 11%. Dan meskipun PPN telah ditambah, nyatanya penerimaan melalui PPN untuk Barang Mewah (PPnBM) selalu berada di sekitar 3,5% PDB nominal.

Krisna menyebut hal ini menunjukkan peningkatan PPN 11% pada 2022 belum berhasil mendorong penerimaan. Bukan tanpa alasan, mengingat kenaikan tarif pajak secara teori berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi. Sebab itu, meskipun tarifnya naik, nilai penerimaan belum tentu ikut naik jika aktivitas ekonomi menurun.

Krisna berpendapat, tidak efisiennya penerimaan PPN juga diakibatkan oleh pengecualian untuk beberapa barang dan jasa. Terlebih PPN hanya dikenakan untuk usaha-usaha yang dimiliki oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), yang kemungkinan juga tidak mendominasi pengusaha di Indonesia.

Di samping itu, semakin tinggi PPN, semakin tinggi pula insentif untuk menjadi pengusaha non-PKP. Untuk itu Krisna menilai perlu dilakukan upaya yang tepat agar bisa mendorong semakin banyak usaha untuk dapat menjadi usaha PKP.

“Mendorong semakin banyak usaha untuk menjadi usaha PKP harus menjadi prioritas. Peningkatan tarif PPN berarti melakukan penarikan pajak pada subjek pajak yang selama ini sudah patuh membayar pajak,” jelas Krisna, Sabtu (4/1/2025).

Dia melanjutkan, jika tarif pajak meningkat, maka semakin sedikit alasan untuk terus menjadi PKP. Karena itu, ekstensifikasi untuk menambah jumlah PKP harus diutamakan, alih-alih melakukan intensifikasi melalui peningkatan tarif.

Pemerintah juga dapat mendorong ekstensifikasi penerimaan negara dengan meningkatkan kemudahan berusaha, mengurangi restriksi pasar, dan membangun ekosistem kewirausahaan yang sehat agar mendorong pertumbuhan UMKM. Krisna pun mengapresiasi jika pembatalan penerapan PPN 12% dilakukan.

“Pembatalan penerapan PPN 12% secara umum patut diapresiasi di tengah rendahnya daya beli masyarakat, massive layoff di industri padat karya dan deflasi. Memang, negara yang memiliki target pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada umumnya justru melakukan ekspansi fiskal dengan memotong pajak, alih-alih meningkatkannya,” ucapnya.

(nng)



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *