loading…
Senior Advisor Pusat Studi Center for Human & Economic Development (CHED) ITB Ahmad Dahlan Jakarta (ITB-AD) Mukhaer Pakkanna. FOTO/dok.SINDOnews
“Mimpi tentang pertumbuhan 8% ini lebih menyerupai keyakinan palsu yang tidak berdasar pada data dan fakta. Indonesia sebaiknya fokus pada mandat konstitusi untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat, bukan sekedar mengejar angka pertumbuhan yang tidak realistis,” ujar Mukhaer dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (8/12/2024).
Mukhaer menjelaskan bahwa sejumlah masalah struktural masih menjadi penghambat utama untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi. Salah satunya adalah tingginya Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang mencapai hampir 7%, dibandingkan rata-rata negara ASEAN yang hanya sekitar 3,5%.
“ICOR yang tinggi ini mengindikasikan inefisiensi investasi, rendahnya produktivitas, serta tingginya biaya siluman yang membebani birokrasi ekonomi,” kata dia.
Selain itu, rendahnya kontribusi Total Factor Productivity (TFP) menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia belum sepenuhnya bertransformasi dari ekonomi berbasis sumber daya alam (SDA) ke ekonomi berbasis pengetahuan dan teknologi. “Dan, jika SDA ini menjadi selalu menjadi andalan, asumsi teori kutukan sumber daya alam (the resource curse) atau paradoks keberlimpahan selalu menjadi fakta. Ketimpangan ekonomi pasti terjadi disertai tingkat kemelaratan yang melambung,” lanjutnya.
Mukhaer juga menyoroti dampak pandemi Covid-19 yang telah memukul daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah. Sejak 2020 hingga 2024, sebanyak 9,48 juta orang dari kelas menengah terperosok kembali ke kelompok miskin. Amblasnya jumlah kelas menengah ini disertai dengan pergeseran lapangan pekerjaan.
Sejak 2019, jumlah lapangan kerja formal kelas menengah terus tertekan, sementara lapangan kerja informal bertambah. “Kelas menengah adalah penggerak konsumsi domestik yang selama ini menjadi penopang PDB. Jika mereka terus tertekan, dampaknya akan signifikan pada PDB dan pertumbuhan ekonomi nasional,” jelas Mukhaer.
Pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang direncanakan mulai Januari 2025 juga dinilai tidak realistis. “Apalagi jika disertai rencana pengalihan subsidi BBM dan listrik yang bisa memantik tarif listrik untuk kelas menengah bawah terkerek naik. Beratnya beban biaya, pasti akan memulusukan jumlah panen pengangguran bertambah,” tambahnya.
Menurut Mukhaer, solusi utama terletak pada perombakan total struktur ekonomi. “Terutama dalam aspek kebijakan fiskal dan afirmasi untuk mendukung kelas ekonomi menengah bawah hingga kelompok akar rumput serta menghilangkan delusi ekonomi,” pungkas Mukhaer.
(nng)