Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Setelah AS-China Berdamai, Siapa yang Akan Jadi Korban Tarif Berikutnya?



loading…

Amerika Serikat dan China sepakat melakukan jeda perang tarif selama 90 hari memberikan harapan baru bagi stabilitas ekonomi global. FOTO/AP

JAKARTA – Amerika Serikat dan China sepakat melakukan jeda perang tarif selama 90 hari memberikan harapan baru bagi stabilitas ekonomi global. Namun, di balik kesepakatan dua raksasa ekonomi dunia ini muncul pertanyaan, siapa negara atau blok ekonomi yang akan menjadi korban berikutnya dari kebijakan tarif AS?

Kesepakatan jeda tarif ini tercapai setelah As, pada awal April menerapkan tarif global sebesar 10% untuk semua negara. Langkah tersebut sempat memicu kekhawatiran terjadinya perang dagang, khususnya di kalangan negara-negara anggota BRICS-yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.

Baca Juga: Tarif Trump Akhirnya Luluh, Berikut Kronologi Perang Dagang AS dan China

China, sebagai anggota kunci BRICS, memainkan peran penting dalam perundingan ini. Bulan lalu, blok BRICS sepakat untuk tetap solid dalam menghadapi kenaikan bea impor dari AS. Meski demikian, kesepakatan jeda tarif antara AS dan China belum sepenuhnya mengakhiri ketegangan, sebab negara-negara BRICS lainnya masih menghadapi tarif impor yang diberlakukan AS.

Dilansir dari Watcher Guru, India dan AS sebelumnya telah menyelesaikan kerangka acuan untuk kesepakatan perdagangan baru, sementara Brasil dan Afrika Selatan masih menghadapi tarif 10 persen. Rusia menjadi satu-satunya anggota BRICS yang dikecualikan dari rencana tarif awal Amerika Serikat, menempatkan negara tersebut dalam posisi tawar yang kuat.

Di sisi lain, Uni Eropa diprediksi akan menjadi pihak berikutnya yang masuk dalam agenda negosiasi dagang AS. Presiden AS Donald Trump bahkan menyebut Uni Eropa lebih keras dalam taktik negosiasi dibandingkan China. Hal ini menandakan bahwa potensi eskalasi perang tarif masih membayangi negara-negara besar lainnya.

Baca Juga: AS-China Sepakat Turunkan Tarif Impor, Ini 5 Poin Pentingnya

Meski demikian, persatuan yang ditunjukkan oleh BRICS membuat banyak pengamat yakin bahwa kesepakatan keringanan tarif hanya tinggal menunggu waktu. Apalagi, blok ini tengah mempertimbangkan untuk memperluas keanggotaan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) 2025 mendatang.

Optimisme tetap ada di tengah ketegangan perdagangan global, terutama dengan adanya jeda tarif antara AS dan China. Namun, negara-negara lain kini harus bersiap menghadapi kemungkinan menjadi target kebijakan tarif berikutnya dari AS.

(nng)



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *