Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Revisi UU Perkoperasian Tanpa Arah? Pengamat Sebut Butuh Blue Print



loading…

Pengamat mempertanyakan revisi RUU Perkoperasian di Indonesia yang dilakukan tanpa arah, alasannya karena tidak adanya blue print. Foto/Dok

JAKARTA – Pengamat koperasi , Dewi Tenty Septi Artiany menyampaikan beberapa pokok pandangan terkait perkembangan koperasi di Indonesia. Menurutnya dari segi peraturan perkoperasian di Indonesia sudah sangat istimewa, dimana sudah disediakan panggung selaras dengan pasal 5 pancasila dan pasal 33 UUD 45

Menurutnya Indonesia merupakan negara dengan jumlah koperasi terbanyak di dunia. Perkembangan jumlah koperasi dan anggota koperasi dari tahun 2013 hingga tahun 2018 mengalami peningkatan signifikan.

Namun terang dia, hal itu belum mampu menjadikan koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional karena sumbangsih koperasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sebesar 5,1% saja. Pertumbuhan kuantitas koperasi di Indonesia tidak disertai dengan pertumbuhan kualitas yang baik sehingga banyak koperasi pasif.

”Dibandingkan negara-negara lain seperti misalnya Denmark, Jepang dan Amerika, Kenya saja 50% PDB-nya dari Koperasi, Indonesia masih sangat lambat kemajuannya, hanya menang dari segi jumlah,” jelas saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Baleg DPR RI terkait penyusunan revisi Keempat UU Perkoperasian Nomor 25 Tahun 1992.

Untuk mengejar ketertinggalan dengan negara-negara maju dan menjadikan koperasi benar-benar sebagai soko guru perekonomian , Dewi Tenty mempertanyakan revisi RUU Perkoperasian di Indonesia yang dilakukan tanpa arah. Alasannya karena terang dia, tidak adanya blue print sehingga goal dan targetnya tidak jelas menjadi penyebab ketika menyusun UU selalu dibatalkan.

“Harus ada komitmen kuat dari pemimpin dalam hal ini Presiden untuk memberikan yang terbaik dalam menyusun perekonomian kerakyatan,” jelasnya.

Saat ini Ia melihat sumbangan 5% ke PDB sebagian didominasi oleh Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Padahal seharusnya usaha koperasi yang berkembang berbasis Koperasi Produksi dan Koperasi Konsumen.

“Kalau Bung Hatta masih ada, mungkin nangis, ketika beliau menggagas koperasi karena melihat Indonesia memiliki dua sumber daya alam dan sumber daya manusia yang luar biasa,” tuturnya.

Menurut Dewi Tenty, seharusnya koperasi yang subur tumbuh di Indonesia adalah koperasi konsumsi, produksi dan ini sejalan dengan program makan siang gratis yang seharusnya melibatkan koperasi konsumsi dan produksi yang mensupport program tersebut.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *