Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

PMI Manufaktur Kontraksi, Pelaku Usaha Butuh Kebijakan Pro-industri



loading…

Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada April 2025 merosot ke level 46,7 atau di fase kontraksi. FOTO/Ilustrasi

JAKARTA – Bebagai dampak ketidakpastian di pasar global maupun domestik, baik itu karena perang tarif yang digulirkan oleh Amerika Serikat (AS) mapun adanya serbuan dari produk impor menyebabkan industri manufaktur di dalam negeri terpukul. Hal itu tercemin dari merosotnya Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada April 2025 yang berada di level 46,7 atau berada di fase kontraksi (di bawah poin 50), sesuai hasil laporan S&P Global.

“Kalau kita lihat, penurunannya sangat signifikan hingga 5,7 poin dibanding capaian PMI manufaktur kita pada bulan Maret lalu yang masih berada di tingkat ekspansif sebesar 52,4. Ini sekaligus menandakan bahwa optimisme atau kepercayaan diri dari para pelaku industri manufaktur di dalam negeri semakin menurun di tengah situasi uncertainty saat ini,” kata Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arief dalam keterangan resminya, dikutip Sabtu (3/5/2025).

Dia menjelaskan, survei PMI manufaktur merupakan survei persepsi terhadap pelaku industri yang menunjukkan tingkat keyakinan pelaku industri manufaktur menjalankan usahanya saat ini. Dengan hasil survei tersebut, kata dia, berarti saat ini ada tekanan psikologis pada persepsi pelaku usaha.

Perlambatan PMI Manufaktur Indonesia pada April 2025 sejalan dengan hasil Indeks Kepercayaan Industri (IKI) bulan April 2025 yang tercatat berdada di level 51,90. Meskipun masih di dalam fase ekspansi, namun lajunya mengalami perlambatan dibandingkan bulan Maret 2025 yang sebesar 52,98 atau menurun sebesar 1,08 poin. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, nilai IKI April 2025 juga mengalami koreksi sebesar 0,40 poin.

Menurut Febri, para pelaku industri manufaktur di Indonesia masih menunggu kepastian dari hasil negosiasi perwakilan pemerintah dengan Amerika Serikat. Sebab, dengan adanya kepastian hukum melalui kebijakan dari pemerintah, pelaku industri baru dapat percaya diri untuk menjalankan usahanya sehingga tidak dalam kondisi wait and see seperti saat ini.

“Pelaku industri kita bukan hanya saja khawatir karena adanya pemberlakuan tarif resiprokal oleh Presiden Trump, tetapi mereka lebih khawatir terhadap serangan produk-produk dari sejumlah negara yang terdampak tarif Trump tersebut, karena bisa menjadikan Indonesia sebagai pasar alternatif sehingga kita akan mendapat limpahan atau muntahan barang-barang impor itu,” paparnya.

Febri mengatakan, pelaku industri atau asosiasi menunggu kebijakan-kebijakan strategis dari pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada industri dalam negeri untuk bisa berdaya saing di pasar domestik atau menjadi tuan rumah di negara sendiri. Sebab, tuturnya, dari sisi struktur produksi, sekitar 20% produk industri nasional dialokasikan untuk pasar ekspor, sementara 80% lainnya diserap oleh pasar domestik yang mencakup belanja pemerintah, swasta, dan rumah tangga.

“Ini menunjukan bahwa pentingnya pasar domestik harus dilindungi untuk kepentingan industri dalam negeri, yang sekaligus sebagai wujud nyata bentuk sikap nasionalisme,” ujarnya.

Febri menambahkan, penurunan PMI manufaktur Indonesia paling dalam dibandingkan negara-negara setingkat. Di ASEAN misalnya, PMI manufaktur Filipina masih berada di fase ekspansif, karena kebijakan tarif Trump tidak terlalu memberatkan bagi mereka dibandingkan negara-negara lain. Selain itu, kebijakan perlindungan pasar dalam negeri di Filipina cukup afirmatif.

Berdasarkan laporan S&P Global, PMI manufaktur yang mengalami kontraksi pada April 2025, antara lain Thailand (49,5), Malaysia (48,6), Jepang (48,5), Jerman (48,0), Taiwan (47,8), Korea Selatan (47,5), Myanmar (45,4), dan Inggris (44,0). Meskipun PMI manufaktur China berada di fase ekspansi (50,4), tetapi mengalami perlambatan dibanding bulan sebelumnya.

(fjo)



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *