Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Pedagang Warung Kelontong Siap Pasang Stiker Batas Umur Penjualan Rokok



loading…

Asosiasi pedagang kelontong siap berkolaborasi dalam gerakan edukasi pembatasan konsumsi rokok melalui stiker larangan penjualan rokok di bawah usia 21 tahun. Foto/Dok

JAKARTA – Asosiasi pedagang kelontong siap berkolaborasi dalam gerakan edukasi pembatasan konsumsi rokok melalui stiker larangan penjualan rokok di bawah usia 21 tahun. Anjuran ini menjadi pilihan yang lebih bijak ketimbang dorongan penyusunan aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, seperti penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.

Wacana ini dijelaskan oleh Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau (PPAT) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Benget Saragih. Menurutnya stiker larangan menjual rokok kepada warga di bawah usia 21 tahun dinilai lebih tepat sasaran karena mendorong edukasi kepada masyarakat luas. Upaya ini bisa memberikan pemahaman untuk menekan angka konsumsi rokok di kalangan usia muda.

Gerakan edukasi itu didukung oleh Ketua Umum Perkumpulan Pedagang Kelontong Seluruh Indonesia (Perpeksi) Junaedi. Bagi dirinya, anjuran ini jauh lebih baik dibandingkan dengan aturan eksesif lainnya yang didorong Kemenkes, seperti penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dalam Rancangan Permenkes.

“Saya setuju untuk anak di bawah usia 21 tahun tidak merokok. Namun, untuk usia 21 ke atas itu saya rasa merupakan pilihan orang dewasa untuk menentukan selera apa yang mau dikonsumsi,” ujarnya.

Sebelumnya, Kemenkes melalui PP 28/2024 juga mengatur larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak yang banyak ditentang oleh berbagai pihak. Padahal, banyak warung yang sudah berjualan bertahun-tahun di lingkungan tersebut, bahkan sebelum sekolah atau tempat bermain anak didirikan. Pembatasan yang dibebankan kepada warung-warung ini, menurut Junaedi, akan merugikan pendapatan para pedagang.

Junaedi menjelaskan, bahwa aturan tersebut akan berdampak besar terhadap perekonomian masyarakat kelas menengah ke bawah yang didominasi oleh UMKM, termasuk warung-warung kelontong. Menurutnya, saat ini pendapatan dari menjual rokok menjadi penyumbang terbesar pedagang, sekitar 60% dari total pendapatan warung-warung.

Ia menilai keputusan yang diambil tersebut berstandar ganda bagi industri hasil tembakau (IHT) yang selalu dipojokkan tanpa adanya solusi. Padahal, banyak orang yang menggantungkan hidupnya dari hulu hingga hilir di industri ini, seperti para pedagang kelontong.

Selain itu, Junaedi meminta agar Kemenkes melakukan dialog terbuka dengan industri tembakau, pelaku usaha kecil, hingga masyarakat sipil untuk merancang regulasi yang adil. Upaya ini agar menghasilkan kebijakan yang tidak ditentang oleh banyak pihak, termasuk masyarakat kelas menengah ke bawah.

Masukan tersebut pun telah disampaikan langsung kepada Kemenkes saat PERPEKSI melakukan ”Diskusi Serap Aspirasi Mata Rantai Industri Hasil Tembakau” bersama Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya beberapa waktu lalu. Junaedi mengatakan Kemenkes selalu menjanjikan akan melakukan dialog dan mengkaji ulang, tetapi dia skeptis dengan langkah yang akan diambil oleh Kemenkes.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *