Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Kebijakan Tarif Cukai Rokok Perlu Keseimbangan



loading…

Direktur PPKE-FEB UB, Prof. Candra Fajri Ananda menyoroti terkait kebijakan tarif cukai rokok. FOTO/dok.SINDOnews

JAKARTA – Keseimbangan dalam kebijakan tarif cukai rokok perlu terus didorong sehingga dampak negatif terhadap kelangsungan industri hasil tembakau (IHT) dan perekonomian dapat diminimalisasi. Salah satu upaya utamanya adalah mempertimbangkan moratorium.

Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE – FEB UB) menyatakan, moratorium kenaikan tarif cukaiadalah opsi yang lebih bijaksana untuk menjagakeberlangsungan IHT dan mencegah lonjakan peredaran rokok ilegal. Langkah itu dilakukan sembari tetap menjaga stabilitas penerimaan negara dan sektor tenaga kerja yang bergantung pada industri ini.

Apabila tarif cukai ditujukan untuk mencapai keseimbangan pilar kebijakan IHT, maka tarif sebesar 4-5% (dari tarif yang berlaku saat ini) adalah tarif cukai yang direkomendasikan untuk diterapkan dalam mencapai keseimbangan antara penerimaan negara dan keberlangsungan IHT.

“Kenaikan tarif di atas batas ini berisiko meningkatkan peredaran rokok ilegal karena konsumen beralih ke produk yang lebih murah dan tidak dikenai cukai,” kata Direktur PPKE-FEB UB, Prof. Candra Fajri Ananda, dikutip Kamis (7/11/2024).

Kajian PPKE-FEB UB juga menunjukkan, kenaikan tarif cukai yang tidak diimbangi dengan kemampuan daya beli masyarakat justru mendorong peningkatan peredaran rokok ilegal. Data simulasi yang dilakukan memperlihatkan bahwa setiap kenaikan tarif cukai mengakibatkan lonjakan persentase peredaran rokok ilegal sehingga mengakibatkan berkurangnya potensi penerimaan negara hingga Rp5,76 triliun per tahun.

“Peningkatan harga membuat permintaan beralih ke produk ilegal, sehingga industri rokok mengalami penurunan kapasitas produksi. Akibatnya, lapangan kerja di sektor ini terancam, terutama bagi pabrik kecil yang tidak mampu bersaing di tengah tingginya tarif cukai dan menurunnya permintaan,” terang Prof. Candra.

Prof. Candra menambahkan, temuan penting hasil kajian PPEK-FEB UB adalah bahwa ada titik optimal dalam kenaikan tarif cukai, sehingga kenaikan lebih lanjut tidak efektif lagi dalam mencapai tujuan kebijakan. Berdasarkan simulasi, pihaknya menyarankan agar tarif cukai ditetapkan pada kisaran 4-5%.

“Pada kisaran ini, peredaran rokok ilegal masih terkendali, penerimaan negara tetap signifikan, dan industri rokok masih bisa bertahan tanpa mengorbankan terlalu banyak lapangan kerja,” tegas Prof. Candra.

Ketua umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan mengamini hasil kajian PPKE-FEB UB. Henry Najoan sepakat pentingnya moratorium atau penundaan kenaikan tarif cukai dalam beberapa tahun mendatang untuk menekan peredaran rokok ilegal yang terus meningkat.

Menurutnya, kenaikan cukai yang berlebihan menciptakan kondisi yang tidak stabil bagi industri dan menurunkan daya saing produk legal di pasar. Henry Najoan mengusulkan agar moratorium dilakukan selama tiga tahun, memberikan waktu bagi industri untuk beradaptasi dan memitigasi dampak negatif kenaikan tarif cukai.

“Keberhasilan kebijakan cukai akan sangat bergantung pada koordinasi erat antara bea cukai, aparat penegak hukum, dan industri tembakau,” tandas Henry Najoan.

(nng)



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *