Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Bisa Akibatkan Stagnasi Ekonomi, Kenaikan PPN 12% Dinilai Belum Waktunya



loading…

Kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% tahun depan dinilai belum tepat waktunya. FOTO/Ilustrasi

JAKARTA – Ekonom menganjurkan agar pemerintah menunda kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) yang sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada 1 Januari 2025 menjadi 12% dari saat ini 11%. Kenaikan PPN ini dinilai belum tepat waktunya.

Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan, wacana pemerintah untuk menaikkan PPN akan menurunkan potensi pertumbuhan ekonomi. “Sepertinya memang belum tepat waktunya,” ujar Tauhid saat dihubungi, Jumat (15/11/2024).

Tauhid mengatakan, jika dipelajari dari kenaikan PPN tahun 2022-2023 dari 10% ke 11%, memang ada tambahan penerimaan negara di atas Rp100 triliun. Namun, kenaikan itu juga mengakibatkan stagnasi pertumbuhan ekonomi, terutama konsumsi masyarakat di tahun 2024. “Ini merupakan efek kenaikan PPN tahun sebelumnya,” kata dia.

Oleh karena itu, Indef merekomendasikan agar pemerintah menunda terlebih dahulu kenaikan PPN sampai ekonomi dalam negeri cukup pulih dan hambatan dari ekonomi global masih bisa diantisipasi. Tauhid mengatakan, di banyak negara juga PPN tidak harus sebesar 12%.

Dia mengatakan, upaya lain untuk menaikkan penerimaan pajak tak harus dengan mengerek PPN. Di antaranya, kata dia, bisa dengan melakukan ekstensifikasi maupun intensifikasi. “Jadi diperluas, bukan pada kenaikan tarif PPN itu sendiri, tetapi ada upaya Kementerian Keuangan melakukan intensifikasi,” tuturnya.

Tauhid menambahkan, Kemenkeu juga bisa memperluas basis wajib pajak atau penggunaan teknologi, sehingga PPN itu lebih besar tanpa harus menaikkan tarif dari 11% menjadi 12%.

Di sisi lain, lanjut Tauhid, jika pelaku usaha dibebankan kenaikan PPN dari 11% ke 12%, hal itu tentunya akan menambah biaya produksi. Ketika biaya produksi dibebankan pada produk akhir dan terjadi kenaikan harga yang kemudian dibebankan kepada konsumen, otomatis akan terjadi pengeluaran belanja secara masif oleh pembeli.

Tauhid menegaskan, kenaikan PPN tentunya akan memiliki konsekuensinya terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi, seperti tingginya inflasi, menurunnya daya beli masyarakat, kemudian memberi efek negatif bagi perusahaan atau industri yang sangat sensitif terhadap kenaikan PPN.

(fjo)



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *