6 Alasan Kenapa Jaminan Kesehatan Mantan Menteri Harus Dibatalkan



loading…

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Presiden Joko Widodo (Jokowi), Wakil Presiden Maruf Amin, serta para menteri lainnya di Ibu Kota Nusantara (IKN), Senin, 12 Agustus 2024. Foto/Setpres

JAKARTA – Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat membeberkan, setidaknya ada 6 alasan kenapa memberikan jaminan kesehatan bagi mantan menteri dan keluarganya, dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( APBN ) harus dibatalkan.

Menurutnya, kebijakan yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2024, tidak adil dan harus dibatalkan. Kebijakan ini terang Achamd, mencerminkan ketidakadilan dalam alokasi anggaran, menambah beban pada APBN, melanggar prinsip keadilan sosial, serta berisiko terhadap transparansi dan akuntabilitas.

“Di saat masyarakat luas menghadapi berbagai kesulitan, pemerintah seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat, bukan elit politik. Kebijakan ini sebaiknya ditinjau ulang atau bahkan dibatalkan untuk memastikan bahwa anggaran negara digunakan secara lebih adil dan efisien,” paparnya di Jakarta, Jumat (18/10/2024).

Berikut 6 alasan kenapa memberikan jaminan kesehatan bagi mantan menteri harus dibatalkan:

1. Ketidakadilan dalam Alokasi Anggaran

Salah satu argumen utama melawan kebijakan ini adalah ketidakadilan dalam alokasi anggaran. Para menteri adalah bagian dari kelompok elit yang selama masa jabatannya telah menerima berbagai tunjangan dan fasilitas negara, termasuk asuransi kesehatan yang baik.

Sementara itu, mayoritas masyarakat Indonesia, terutama golongan menengah ke bawah, seringkali kesulitan mengakses layanan kesehatan yang layak.

“Menetapkan kebijakan yang mengalokasikan sumber daya negara untuk mantan pejabat yang sudah berada dalam posisi ekonomi yang kuat, ketika banyak rakyat yang membutuhkan perhatian kesehatan dasar, adalah kebijakan yang tidak seimbang,” paparnya.

Menurutnya, Pemerintah harus mengutamakan alokasi anggaran untuk kebutuhan mendesak masyarakat yang lebih luas, seperti meningkatkan pelayanan kesehatan di daerah-daerah terpencil, memperluas cakupan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), atau mengurangi angka kematian ibu dan anak.

Mengalihkan sumber daya publik yang terbatas untuk mantan pejabat menciptakan jurang ketimpangan antara masyarakat dan elit yang justru seharusnya bertanggung jawab atas pelayanan publik yang lebih adil.

2. Beban Berlebihan pada APBN

Ia juga menyoroti, saat kondisi ekonomi yang rentan, di mana anggaran negara sudah terbebani oleh berbagai program sosial dan infrastruktur, menambahkan beban baru seperti jaminan kesehatan bagi mantan menteri sangat tidak bijaksana.

“APBN sudah menghadapi tantangan besar dalam mendanai berbagai program publik, termasuk subsidi energi, bantuan sosial, pendidikan, dan kesehatan untuk masyarakat luas,” ungkapnua.

Meningkatkan belanja negara melalui program-program seperti ini hanya akan memperburuk defisit anggaran dan memperbesar beban utang publik. Dalam jangka panjang, pembengkakan utang yang berkelanjutan akibat pengeluaran yang tidak esensial ini dapat menempatkan ekonomi Indonesia dalam risiko lebih besar, dengan implikasi bahwa generasi mendatang yang akan menanggung beban utang tersebut.

3. Pengabaian Prinsip Keadilan Sosial

Dalam konteks kebijakan publik, keadilan sosial adalah prinsip fundamental yang seharusnya dijunjung tinggi. Kebijakan yang memberikan jaminan kesehatan gratis kepada mantan menteri dan keluarganya melanggar prinsip ini karena memberikan keuntungan yang tidak adil kepada kelompok yang sudah sangat diuntungkan selama masa jabatan mereka. Mantan menteri, dengan penghasilan dan tunjangan tinggi selama mereka bertugas, sangat mungkin memiliki kemampuan finansial untuk membiayai sendiri kebutuhan kesehatan mereka tanpa harus bergantung pada APBN.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *