Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Siapa Monther Abed? Satu-satunya Korban Selamat Pembantaian Paramedis di Rafah oleh Israel



loading…

Monther Abed, paramedis sukarelawan dari Bulan Sabit Merah Palestina. Foto/media sosial

RAFAH – Monther Abed, paramedis sukarelawan dari Bulan Sabit Merah Palestina, mengingat secara rinci kejahatan tentara Israel ketika mereka menargetkan dia dan rekan-rekannya di kota Rafah, selatan Jalur Gaza, pada 23 Maret 2025.

Dalam pembantaian yang mengerikan ini, 15 anggota tim paramedis dan pertahanan sipil, yang dilindungi hukum internasional, dibunuh pasukan Israel.

Aksi brutal itu seiring genosida oleh Israel terhadap warga Palestina di Gaza selama 18 bulan terakhir.

Abed, satu-satunya korban selamat dari pembantaian tersebut, menceritakan serangan tersebut ketika mereka menanggapi panggilan darurat dari korban sipil yang terjebak oleh pasukan Israel di lingkungan Tel al-Sultan di bagian barat Rafah.

Satu tim yang terdiri dari 10 paramedis, lima personel pertahanan sipil, dan seorang karyawan dari salah satu badan PBB menuju ke sumber panggilan darurat, dengan harapan dapat menyelamatkan nyawa warga sipil.

Dibantai Secara Sadis

Abed, yang berusia tiga puluhan, mengatakan kepada Anadolu Agency, “Kami menerima sinyal tentang cedera di daerah Hashashin (di lingkungan Tel al-Sultan), jadi kami segera bergerak. Ambulans tersebut berasal dari Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina (Ambulans 101), dan mereka diterangi baik di dalam maupun di luar.”

Ia melanjutkan, “Begitu kami tiba, kami menjadi sasaran tembakan langsung dan intens. Saya harus menunduk di dalam ambulans di bagian belakang. Saya tidak mendengar apa pun dari rekan-rekan saya, hanya napas terakhir mereka. Kemudian pasukan khusus Israel datang, membuka pintu ambulans, dan berbicara dalam bahasa Ibrani. Mereka mendorong kepala saya ke tanah sehingga saya tidak dapat melihat rekan-rekan saya atau mengetahui nasib mereka.”

Setelah tembakan di ambulans, tentara Israel menarik Abed dari ambulance, menangkapnya, menutup matanya, dan menginterogasinya selama 15 jam sebelum melepaskannya.

Abed mengungkapkan dia disiksa dengan kejam, dengan mengatakan, “Mereka memukul saya dengan popor senapan dan menyiksa saya, menanyakan nama, alamat, dan keterangan tentang keberadaan saya pada tanggal 7 Oktober. Semakin banyak saya menjawab, semakin mereka memukul saya. Saya ingin mati karena rasa sakit dari penyiksaan itu.”



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *